Almarhum Bapak Jainudin (Pak Udin) Semasa Hidup
Untuk seorang teman, sahabat, bapak dan guru bagi kami, Bapak Jainudin, yang akrab disapa Pak Udin. Beliau telah berpulang (meninggal dunia), pada; 25 Agustus 2015 karena sakit, di usianya yang ke 60. Kami Keluarga besar Yayasan Palung (GPOCP) sangat kehilangan dengan berpulangnya Pak Udin.
Kami keluarga besar dari Yayasan Palung sangat kehilangan dari seorang sosok Pak Udin. Sebagai teman; Pak Udin dikenal dengan kesederhanaannya, Keramahannya, kesetiaannya, keikhlasannya dan bersahaja serta keuletan dalam bekerja untuk membantu masyarakat.
Sebagai seorang bapak; Pak Udin dikenal ikhlas bersanda gurau dengan siapa saja termasuk anak muda dan siapa saja. Sebagai guru; banyak hal baik dan semangat yang beliau ajarkan kepada kami.
Pak Udin saat merawat tanaman dan lingkungan
Pak Udin dan berbagai bibit tanaman organik
Bapak Jainudin, dari awal hingga akhir hayatnya mencurahkan seluruh jiwa raganya untuk konservasi di Tanah Kayong. Bapak Jainudin pernah menjadi asisten peneliti di Stasiun Riset Cabang Panti, Gunung Palung, saat itu menjadi Asisten peneliti bagi Cheryl Knott dan Tim Laman dan beberapa peneliti lainnya selama kurang lebih 15 tahun. Pada tahun 2002- 2006; membantu Yayasan Palung di APLP (Arena Pembelajaran Lingkungan Peramas) yang sekarang menjadi pusat perkantoran Pemerintah Kab. Kayong Utara, beliau pada waktu itu membantu sebagai pemandu untuk jalur field trip anak-anak sekolah. Selanjutnya Pak Udin, dari tahun 2010- 2015; bekarja di Yayasan Palung sebagai Staf di program pertanian organik di Pusat Pendidikan Lingkungan Yayasan Palung (Environmental Education Bentangor Pampang Center Yayasan Palung) di Desa Pampang Harapan.
Selamat jalan teman/kawan, sahabat, bapak dan guru kami Bapak Jainudin (Pak Udin), terima kasih dari kami dari Yayasan Palung (GPOCP) untuk semua pengabdianmu hingga akhir hayatmu.
Kami akan selalu mengenang segala jasa-jasamu dan semoga amal ibadahmu di terima oleh Allah SWT, bagi keluarga almarhum semoga tabah. Amin…
Foto dok. mobavatar.com, dlm berdikari.com
Tahun 2015, tepatnya tanggal 17 Agustus, Indonesia sudah memasuki usia yang ke-70 tahun sejak 1945 untuk memperingati hari kemerdekaannya. Beragam persiapan seperti upacara bendera bersama, perlombaan-perlombaan, refleksi dari makna kemerdekaan dan lain sebagainnya. Hal itu sepertinya menjadi ragam untuk menjadi rutinitas yang selalu dipersiapkan dan memaknai kemerdekaan negara tercinta Indonesia. Sebuah tanya, medeka dimanakah kita, anak muda?.
Tentu para pejuang bangsa ini tidak habis akal dan cara bagaimana mereka dulu berjuang dengan tetes darah penghabisan tetapi tidak pamrih. Sejatinya mereka hanya memikirkan bagaimana cara agar bangsa ini terbebas dari segala penjajahan. Keberhasilan menumpas penjajahan di medan perang mungkin telah usai, dan kita bisa sebut merdeka. Demikian juga setiap 17 Agustus selalu diperingati untuk mengenang jasa dan hasil para jerih payah pejuang dalam memperjuangkan bangsa ini hingga terbebas dari para penjajahan. Namun kini, kemerdekaan bangsa cenderung berbalik arah menjadi tanya merdeka dimanakah?. Jawabnya mungkin salah atau juga benar, secara kasat mata atau terselubung bisa dikatakan bangsa ini sejujurnya belumlah sepenuhnya merdeka.
Dimanakah kita belum merdekanya ?
– Belum merdeka sepenuhnya dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), tengok saja semakin banyak yang terjerat kasus korupsi bahkan hingga singgasana jabatan ada yang mencoba membuat dinasti. Ini sungguh-sungguh terjadi dan sedikit banyak mencederai bangsa ini.
– Tingkat kemiskinan masih saja tersebar dibeberapa provinsi di Indonesia. Tidak untuk mengoreksi pemerintah dari dulu hingga sekarang, namun sepertinya tingkat kemiskinan dan orang miskin semakin bertambah.
– Harga kebutuhan pokok semakin meroket, rakyat kecil semakin menjerit.
– Sumber Daya Alam semakin kritis dan terkikis. Kekayaan alam Indonesia hanya segelintir orang yang menikmati dan negara-negara luar. Kerusakan lingkungan semakin menghawatirkan. Banyak yang menyalahkan alam, tetapi sesungguhnya bukan alam semesta yang disalahkan.
– Ekonomi dan mata uang masih belum stabil. Banyak negara yang takut untuk investasi.
– Orang-orang pintar (SDM) lebih memilih kerja dan berkarya di luar negeri karena jarang dihargai. Demikian juga sebaliknya di daerah, putra daerah jarang diberi kesempatan untuk membangun daerahnya.
– Tidak sedikit para pejabat yang hanya memikirkan harta, tahta dan kepentingan duniawi demi diri ketimbang berderma untuk sesama yang lebih membutuhkan.
– UUD seperti semudah membalikan telapak tangan sehingga dipermainkan dan hanya untuk kepuasan semata yang mengatasnamakan untuk pemerataan pembangunan.
– Kekerasan fisik, terhadap anak, kurangnya penghargaan terhadap kaum difabel dan duafa kian menjamur diberbagai penjuru.
– Pemerataan pembangunan dan infrasuktur disegala bidang menjadi kendala utama karena wilayah Indonesia yang luas. Gedung pencakar langit vs gubuk-gubuk di tepi hutan dan tepian sawah.
– Masih ada masyarakat yang gelap gulita belum bisa menikmati penerangan, belum bisa sekolah karena tidak ada biaya dan tidak bisa berobat karena tidak ada medis. Ini benar-benar terjadi di pedalaman-pedalaman (mungkin dari Sabang sampai Merauke).
– Adat dan budaya terkadang jarang ditonjolkan akibat kalah bersaing di era modern saat ini. Anak muda lebih suka meniru hal-hal baru yang cenderung menghilangkan adat dan budayanya.
Satu kata tentang sebuah tanda tanya ini mungkin bisa dikata adalah pekerjaan rumah bangsa ini dan termasuk kita semua. Para pejuang menitipkan capaian kemerdekaan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk saling bahu membahu dan membangun berkeinginan mejaga nama negara tercinta.
Semoga saja… Merdeka….!!!!.. bukan Mereka.
By : Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Tulisan ini juga sebelumnya telah dimuat di kompasiana.com, link tulisan ; http://www.kompasiana.com/pit_kanisius/merdeka-dimanakah-kita-anak-muda_55cdab2827b0bd690ef5ae53
Foto : saat memberikan lecture (ceramah lingkungan) di Tayap
Yayasan Palung melakukan Ekspedisi Pendidikan Lingkungan di Desa Batu Mas dan Desa Kayong Utara Kec. Nanga Tayap selama 5 hari pada 10 – 14 Juni 2015. Kami menjangkau masyarakat di perhuluan kabupaten Ketapang yang berdiam di sekitar kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Palung. Kami melakukan diskusi masyarakat, pemutaran film di lapangan terbuka (di Desa Batu Mas kami menggunakan halaman SD setempat dan lapangan sepak bola di Desa Kayong Utara), puppet show di SD dan lecture di SMP di dua desa tersebut. Kami mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap keberadaan keanekaragaman hayati khususnya orangutan sebagai species kunci hutan dan perlindungan hutan itu sendiri.
Siswa SD dari kelas 1 hingga 5, SMP dari kelas 7 – 8, kepala sekolah dan para guru, kepala desa dan aparat desa di dua desa tersebut menyambut kedatangan kami dengan baik, begitu juga dengan masyarakatnya, mereka senang dengan kedatangan kami.
Kami sangat terkesan dengan dukungan yang diberikan oleh Kepala Desa Batu Mas (Ibu Yulita Suweli), dia pemimpin yang tegas, cerdas, cantik (pula) dan selalu berusaha hadir dalam aktifitas-aktifitas masyarakat di desanya termasuk hadir pada semua kegiatan kami, ini pertama kalinya dalam kegiatan Yayasan Palung di sekolah dihadiri oleh seorang kepala desa. Di Desa Batu Mas kami menginap di rumah Ibu Kepala Desa dengan keramahan yang tidak dapat dilupakan juga dari suami dan keluarganya. Demikian juga dengan Kepala Desa Kayong Utara (Bapak Kadorusno), seorang laki-laki muda yang mau mengurus desanya, dia membuat pekerjaan kami di desa ini berjalan dengan sukses. Kami menginap di rumahnya, dan merasa sangat terbantu dengan keramahan istrinya berinteraksi dengan kami.
Di Desa Batu Mas sudah terdapat dua perusahaan sawit yaitu PT. BGA dan PT. LHP yang membuat jarak hutan dari desa semakin jauh. Siswa tidak banyak yang tahu tentang orangutan, begitu juga masyarakatnya sudah jarang melihat orangutan di hutan, mereka juga merasakan kehilangan hutan karena tidak dapat lagi mencari sayur-sayuran di hutan dan desa terasa kering.
Desa Kayong Utara terletak di tengah hutan, belum ada listrik negara, menurut warga terlalu jauh untuk memasukkan gardu listrik hingga ke desa ini, dengan kata lain desa ini termasuk dalam desa terpencil dan terisolasi. Warga mendapatkan penerangan dari jam 6 sore hingga jam setengah sebelas malam dari generator yang dibiayai secara swadaya oleh mayarakat dan bantuan bahan bakar solar dua drum per bulan dari sebuah perusahaan pengusahaan hutan yang beroperasi di daerah ini (PT. SJM). Tidak berapa jauh dari desa ini terdapat sebuah perusahaan sawit yang sama dengan Desa Batu Mas yaitu PT. BGA. Namun kondisi hutan disini masih cukup baik, menghasilkan banyak hasil hutan bukan kayu seperti madu yang sangat menunjang perekonomian masyarakat. Pengetahuan siswa tentang orangutan juga cukup baik, dan masyarakat mengatakan ladang mereka tidak diserang hama seperti di desa lain yang jauh dari hutan karena hama seperti belalang sudah dimakan oleh binatang-binatang yang masih banyak terdapat di dalam hutan.
Perkebunan merupakan salah satu tantangan besar bagi satwa dan habitatnya. foto dok. YP
Perjalanan ini sangat menyenangkan, walaupun jalan yang dilewati dari Ketapang ke Nanga Tayap rusak dikarenakan musim hujan membuat jalan berlubang di banyak bagian yang membuat badan bergoyang *dumang* dengan serunya, tetapi terhibur dengan anak-anak penjaga “miting” di jalan-jalan yang rusak berat, perginya kami beri mereka upah uang Rp. 2.000,- – Rp. 3.000,- dan pulangnya kami beri biskuit tanggo sisa gift siswa. Juga banyak gurauan dari teman-teman selama perjalanan kami.
Dari Nanga Tayap ke Batu Mas selama 30 menit jalan aspal goreng mulus, tetapi dari Nanga Tayap – Dusun Riam Batu Desa Kayong Utara jalan tanah dengan sedikit pengerasan kerikil, ada bagian-bagian yang licin seperti licinnya minyak sawit, menanjak dan menurun (pula), sesuai dengan pemandangan di kanan kiri jalan tanaman sawit milik perusahaan sawit PT. BGA.
Seluruhnya ada 8 kegiatan yang kami lakukan dalam ekspedisi ini, jangan ditanya capeknya badan kami, tetapi kami senang bisa berkunjung ke daerah baru, bertemu dan berbagi pengetahuan dan wawasan bersama warga yang tinggal di sekitar hutan yang merupakan habitat Orangutan pygmaeus wurmbii. Kami mengucapkan terima kasih kepada Orangutan Outreach yang memungkinkan kami melakukan kegiatan ini dan special thanks kepada Deri Irawan, penerima beasiswa peduli orangutan Kalimantan asal Kecamatan Nanga Tayap yang sudah memulai debutnya “magang” di Yayasan Palung, bahkan sebelum dia mulai kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Deri membantu mengkoordinasikan kegiatan ini kepada kepala desa dan kepala sekolah di dua desa tersebut, dia juga ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan ini.
Tulisan by : Mariamah Achmad, Conservation Awareness and Environmental Education Manager of Yayasan Palung
Satu individu bayi orangutan Kembali berhasil diselamatkan (rescue) oleh BKSDA Kalimantan Barat Seksi Konservasi Wilayah I Ketapang bersama YIARI dan Yayasan Palung dari kawasan konsesi yang letaknya di Desa Sungai Besar Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalbar, pada Senin siang kemarin (27 /7/2015).
Dalam proses rescue orangutan ini, tim rescue berangkat ke lokasi dari kantor Seksi Wilayah I Ketapang dengan jarak tempuh kurang lebih 21 kilometer, sekitar pukul 9.30 WIB.
Setelah sampai ke lokasi, tim langsung menuju rumah pemilik bayi orangutan dengan disaksikan beberapa warga yang tinggal di sekitar pemilik bayi orangutan. Adapun bayi orangutan berjenis kelamin jantan dan berusia kurang lebih lima bulan.
Menurut keterangan Maman (pemilik bayi orangutan) mengatakan, bayi orangutan tersebut ditemukan ketika saat dia sedang memancing ikan gabus di danau yang berada di dekat kawasan hutan Sungai Besar, tiga minggu lalu.
Lebih lanjut menurut Maman, selang beberapa waktu Ia mendengar suara setelah dicari arah suara tersebut ternyata ditemukan 1 individu bayi orangutan yang ditinggalkan induknya dan memanjat pohon kayu yang sudah mati.
Karena merasa iba (kasihan) serta dikhawatirkan bayi orangutan itu mati, bayi orangutan tersebut langsung ia bawa pulang dan diberi minum susu. Selang beberapa hari Bapak Maman meminta bantuan kepada beberapa warga untuk memberitahu kepada pihak yang berwewenang serta menyampaikan kepada Yayasan Palung bahwa bayi orangutan ini akan diserahkan untuk mendapatkan perawatan lebih baik.
Setelah dilakukan serah terima dan penandatangan Berita Acara (BA) serah terima dan kemudian bayi orangutan dibawa ke pusat rehabilitasi YIARI.
Proses rescue tersebut disaksikan oleh banyak warga, maka momentum ini dimanfaatkan oleh pihak BKSDA yang diwakili Adi Susilo untuk menyampaikan himbauan kepada warga untuk tidak memelihara, memburu serta memperdagangkan satwa dilindungi termasuk orangutan.
Selain itu juga, menurut keterangan beberapa warga bahwa di lokasi ditemukannya bayi orangutan ini sering warga menjumpai orangutan yang masuk dan merusak tanaman milik masyarakat bahkan beberapa bulan terakhir pihak BKSDA bersama YIARI telah me-rescue beberapa individu orangutan dari lokasi tersebut.
Edi Rahman, Manager Program Perlindungan Satwa (PPS) dari Yayasan Palung, menambahkan; memang di lokasi ditemukan bayi orangutan ini terdapat kawasan hutan dengan status kawasan Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Konversi (HPK) dan telah ditetapkan oleh Kementerian Republik Indonesia sebagai Hutan Desa (HD) Sungai Besar berdasarkan Surat Keputusan Nomor: 586/Menhut-II/2011 dengan luas ± 6.825 Hektare (HP ± 4.825 Hektare dan HPK ± 2.000 Hektare). Kawasan hutan ini merupakan habitat orangutan serta masih terdapat populasi orangutan tetapi di sekitar kawasan hutan ini terdapat berbagai ancaman yang cukup tinggi baik ancaman pembukaan perkebunan sawit, pertambangan illegal, kebakaran hutan dan illegal logging.
Sebelumnya tulisan ini telah masuk dibeberapa media cetak dan online seperti di Pontianak Post, Tribun Pontianak, Suara Pemred dan kompasiana.com. Link tulisan di kompasiana : http://www.kompasiana.com/pit_kanisius/satu-individu-bayi-orangutan-jantan-berhasil-diselamatkan-dari-kawasan-konsesi_55b9aac7397b613c2b29e81e
By :Petrus Kanisius- Yayasan Palung
Orangutan baru di TNGP, bernama Ned. Foto dok. Kat Sccott
Aku tinggal tak jauh dari habiatku di hutan tropis di Borneo tepatnya di Gunung Palung yang letaknya di dua kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, Kalbar.
Bertahun-tahun aku tinggal bergelantungan ke sana kemari mengitar sepanjang hutan itu.
Hari-hariku dari pagi hingga senja menyapa aku berkelayapan untuk mencari makan berupa buah-buahan, serangga, umbi-umbian, kulit kayu.
Sore harinya aku selalu menyiapkan tempat istrihatku berupa sarang, setiap hari aku selalu membuat sarang dari daun-daun dan bekas ranting kayu.
Menjelang pertengahan tahun ini aku sengaja menampakan diriku dan bergabung dengan teman-temanku di tempat ini.
Sebelum-sebelumnya aku tidak punya nama, namun sahabat peneliti menemukanku saat aku sedang bermain-main, kemudian mereka memberiku nama.
Aku bersyukur karena aku sekarang sudah memiliki nama sama seperti teman-temanku yang sudah lama bergabung dan tinggal di Stasiun Riset Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung.
Ragam jenis tumbuh-tumbuhan sering ku jumpai sama halnya dengan satwa-satwa lainnya.
Dalam arti namaku, aku tidak ada arti lain dari namaku itu, cukup panggil aku Ned.
Nama Ned tidak lain adalah Ned itu sendiri dan Aku Ned ialah orangutan jantan yang baru saja diemukan tinggal di Gunung Palung.
Mudah-mudahan aku bisa tinggal lama di TNGP dan TNGP tempat dimana aku tinggal bisa terus ada.
By : Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Sebelumnya tulisan ini ditulis di kompasiana.com, lihat link : http://www.kompasiana.com/pit_kanisius/namaku-ned-dari-taman-nasional-gunung-palung_55af5551d07a613e2c5d39da
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com
Pada suatu hari, aku ingin mengunjungi rimba raya hutan Borneo yang masih utuh. Entah mengapa aku rindu sekali dengan rimba raya atau hutan rimba raya tersebut. Rencananya aku ingin sekali mengajak orangutan. Kerinduanku akan rimbunnya rimba raya bermula ketika aku banyak mendengar cerita ataupun kabar tentang berbagai kisah tentang hutan yang sekarang semakin berkurang diambang sisih tak bersisa. Mengingat juga, orangutan pernah curhat terlontar ditelingaku tentang jerit dan tangis mereka akan hutan sebagai rumah mereka, tempat mereka bertahan hidup semakin sempit.
Kerinduanku itu terus saja merasuki pikiran. Persoalan sekarang adalah kapan ada waktu yang tepat antara aku dan orangutan untuk bisa bersama mengunjunginya. Mengingat, orangutan yang ingin aku ajak semakin sulit kutemui. Sesekali aku pernah berjumpa tetapi hanya sekedar berpapasan saja, belum sempat ngobrol tentang keinginanku mengajak orangutan mengunjungi hutan Borneo yang masih utuh itu . Sepertinya, orangutan yang kuajak tersebut akan senang dan bahagia. Mudah-mudahan saja, harapku.
Hutan Borneo yang rencananya aku kunjungi menurut kabar adalah hutan di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP). Hutan di Kawasan tersebut sedikit lebih baik dibandingkan dengan hutan-hutan yang berada di luar kawasan. Ada beberapa hutan seperti hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan lindung dan hutan yang berada di dekat prmukiman masyarakat namun kondisinya tidak lagi utuh sepenuhnya.
Suatu pagi, saat aku duduk termenung di pondok ladang seorang diri. Sembari berpikir sejenak bagaimana rencanaku mencari cara mengajak, mengobrol dan berdiskusi dengan orangutan untuk mengunjungi hutan Borneo itu. Tidak disangka, seketika orangutan jantan muncul dan memanggilku dengan suara nyaringnya. Dari bahasanya, sepertinya orangutan tersebut sedang kebingungan. Benar saja, setelah saya mencoba mendekati dan bertanya kepada orangutan itu; ada apa gerangan orangutan?. Terlihat, selain kebingungan, tergesa-gesa dan ketakutan orangutan tersebut juga seperti sedang merasa sedih.
Orangutan itu menjawab pertanyaanku dengan tergesa-gesa seolah sedang berada dalam ancaman dan ketakutan; “hutanku… tempat aku sehari-hari berdiam kini digusur lagi, kemana lagi aku berdiam?”. Demikian jawab orangutan itu kepadaku.
Orangutan tersebut sepertinya sedang berada dalam keputus asaan dan hilang harapan melihat kondisi hutan sebagai habitat hidupnya digusur. Setelah mengabarkan hal yang dialaminya itu, orangutan tersebut kembali bertutur lebih lanjut tentang nasib dari saudara-saudarinya sesama orangutan, kelempiau, kelasi, kera, burung enggang, burung ruai, babi, rusa, kancil, ayam hutan, trenggiling dan beberapa kawanan satwa lainnya yang berada dalam kawanannya. Menurut cerita dari orangutan tersebut terungkap, mereka kini semakin terdesak. Hutan tempat hidup mereka tidak banyak lagi (hutan semakin sempit) tersisa tempat mereka bertahan hidup. Tidak hanya itu, lebih lanjut menurut orangutan jantan dewasa tersebut menceritakan; nasib orangutan dan kawanannya ada yang diburu, diperjualbelikan (diperdagangkan).
Setelah puas berkeluh kesah, orangutan tersebut memohon berpamitan untuk kembali kerumahnya di hutan sekitar kota yang saat ini pun semakin sedikit. Sebelum pulang ke rumahnya, aku mengabarkan rencana keinginanku mengajak serta orangutan tersebut mengunjungi rimba raya hutan Borneo. Mendengar ajakanku, orangutan tersebut sepertinya sangat riang gembira seraya berkata; “Apakah itu mimpi?. Yang benar saja”. Ya, benar ujarku.
Dengan semangatnya, orangutan tersebut menyetujui ajakanku untuk mengunjungi rimba raya hutan Borneo yang ku rindukan itu. Orangutan jantan tersebut diketahui memiliki nama Pongo.
Pongo, orangutan jantan dewasa tersebut berpesan kepadaku; dua atau tiga hari lagi ia akan datang lagi ke pondokku untuk memastikan jadwal berkunjung ke rimba raya hutan Borneo.
Tiga hari berlalu, Pongo belum juga datang. Akupun bertanya-tanya; apakah pongo lupa dengan janji kami hari ini?. Hingga malam hari aku menunggu, namun pongo belum juga datang. Akupun berpikiran, mungkin si pongo lupa dengan janji kami atau ada halangan lain kenapa pongo belum juga muncul-muncul menemuiku hari itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ada kawananan burung enggang terbang rendah sekali diatas pohon hutan dekat pondokku. Sepasang enggang, menghampiri pondokku dan mengetok pintu seraya berkata; ada orang di rumah?.
Ya, ada sahutku. Ooo, burung enggang ternyata. Silahkan masuk ajakku. Burung enggang dan pasangannya pun masuk ke pondokku. Kehadiran saya hari ini menemuimu untuk menyampaikan pesan dari Pongo, dia mengutus aku untuk datang kemari. Ada apa?. Apa yang terjadi dengan orangutan bernama pongo itu?. Tanyaku kepada enggang agak terburu-buru sembari takut terjadi apa-apa dengannya.
Begini, jawab enggang; kemarin atau dua hari yang lalu pongo mengalami musibah, ada beberapa saudara dan saudarinya mengalami nasib malang. Beberapa diantaranya melarikan diri hingga kini belum kembali.
Beberapa rumah tempat berdiam berupa sarang mereka digusur deru mesin dan gergaji. Sampai saat ini, pongo mengajak beberapa satwa lainnya mengadakan rapat untuk mencari jalan keluar tentang musibah yang menimpa keluarga pongo dan kami merasa prihatin sekaligus sedih juga ungkap burung enggang.
Waduh… kasian nasib pongo dan keluarganya, turut prihatin atas kejadian yang menimpa pongo dan kalian semua ungkapku. Terima kasih jawab burung enggang atas rasa keprihatinanmu kepada kami semua. Atas dasar itulah aku diutus untuk datang ke tempatmu hari ini, untuk menyampaikan pesan dari pongo tentang kejadian yang menimpa kami di rumah kami berupa hutan yang semakin sempit dan mungkin akan segera habis dan hilang tidak berbekas. Jangan berkata demikian ungkapku kepada enggang. Pasti ada banyak cara untuk membuat hutan (rimba raya) dapat terus hidup. Jika hutan masih ada, ku yakin kita semua masih mampu bertahan. Tetapi, sekarang tampaknya kita sama-sama berada dalam ketidakpastian tutur burung enggang. lebih lanjut enggang mengatakan; sepertinya antara kita semua makhluk hidup tampa terkecuali sepertinya berada dalam ancaman nyata jelas burung enggang dengan nada-nada tidak bersemangat. Terima kasih burung enggang atas informasinya. Mungkin kita semua bisa saling hidup berdampingan ujarku dengan harapan burung enggang tidak kesal. Seharusnya demikian!!!… kita bisa saling berdampingan, bisa sama-sama menjaga dan dapat saling menghargai ungkap enggang dengan sisa-sisa nada kekesalannya. Menjelang senja, enggang pun berpamitan untuk kembali pulang ke rumahnya.
Setelah sedikit aku melamun, terlintas dipikiranku apa yang dikatakan enggang tersebut sungguh benar adanya dan terjadi.
Satu pekan berselang, setelah kejadian deru mesin dan gergaji yang menimpa pongo dan hampir pasti juga terjadi pula pada satwa serta seluruh makhluk lainnya menjadi beban dan pemikiran seluruh makhluk yang mendiami hutan itu sepertinya, lagi-lagi itu muncul didalam pikiranku.
Keesokan harinya, Pongo datang kembali untuk menagih janji akan rencana kami mengunjungi rimba raya hutan Borneo. Satu jam kurang lebih, pongo menyempatkan bercerita tentang kejadian yang menimpanya dan kerabatnya tempo hari sama persis dengan apa yang diceritakan oleh burung enggang. Menurut pongo, keluarganya ada yang hilang atau mungkin melarikan diri karena ketakutan mendengar suara mesin dan gerjaji. Lebih lanjut pongo bertutur, ada diantara keluarganya yang ditangkap oleh manusia. Kini keadaan rumahnya berupa hutan tidak banyak lagi yang bisa berdiri kokoh.
Aku dan pongo pun akhirnya menyepakati untuk pergi bersama-sama mengunjungi rimba raya hutan Borneo yang masih utuh itu. Rimba raya hutan Borneo yang kami kunjungi itu tidak lain adalah kawasan hutan di sekitar Taman Nasional Gunung Palung (TNGP). Di kawasan hutan ini, inginku melihat segala isinya dan berharap pongo bisa bertemu dengan sanak keluarganya. Taman Nasional yang kami pongo kunjungi itu sangat luas 90.000 hektare luasannya. Berjam-jam kami menempuh perjalanan menuju kawasan itu, aku berjalan kaki, pongo sepertinya sangat gembira sekali menempuh perjalanan itu, pongo bergelayutan dari pohon satu ke pohon lainnya dengan bernyanyi dan sesekali bertegur sapa dengan kerabatnya seperti kelasi, kelempiau dan beberapa burung yang secara kebetulan bertemu (berpapasan) dijalur yang kami tempuh. Sesekali orangutan bernama pongo itu bergembira ria tentang beragamnya jenis pohon, jenis buah, jenis tumbuh-tumbuhan dan sesamanya satwa yang ada dikawasan hutan Gunung Palung. Setelah hampir lima jam perjalanan kami tempuh, akhirnya kami tiba di rimba raya hutan Borneo yang masih utuh nan indah tersebut. Cukup melelahkan terasa karena jauhnya perjalanan yang kami tempuh, namun seketika rasa melelahkan itu hilang terobati oleh bahagianya pongo melihat apa yang baru saja alami yaitu keindahan tajuk-tajuk pepohonan yang menjulang tinggi dan rasa bahagia dari pongo terpancar merona di wajahnya. Senjapun tiba, kami memutuskan untuk menginap di sekitar hutan itu dan keesokan harinya aku dan pongo akan benar-benar menyempatkan diri untuk mengunjungi dan menjelajahi rimba raya.
Luar biasa, itu seruan pertama pongo saat memasuki kawasan hutan Gunung Palung, menurutku pun demikian adanya. Benar saja, kekaguman pongo itu tentang surganya makhluk hidup yang tinggal di rimba raya itu. Lalu Pongo pun kembali berujar; “Seandainya hutanku rimba rayaku ini ada disetiap sudut penjuru Borneo dan mungkin juga ada di tempat lainnya di sekitar kami, mungkin kami akan sangat senang dan bergembira. Senang dan gembiranya karena kami bisa beranak cucu dan bertambah banyak, mungkin juga kami bisa lesari dan tidak punah”.
Tidak terasa, satu pekan sudah aku dan pongo berada di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP).
Kami pongo pun berencana untuk menyudahi pertualangan kami di rimba raya hutan Borneo itu, rinduku pun terobati melihat indahnya rimba raya hutan Borneo di Hutan sekitar Kawasan Gunung Palung. Satu kata yang terucap dari Pongo tentang keaneragaman hayati dan seluruh makhluk yang mendiami wilayah tersebut, kata itu tentang sebuah harapan baru jika masih mampu dan bisa dipertahankan. Bisa melihat rimba raya hutan Borneo yang masih utuh sebagai harapan untuk kami, kita semua sebagai surga untuk dapat bertahan dan nafas hidup mampu berlanjut dari waktu ke waktu, tegas pongo dengan nada semangat.
Ditulis oleh : Petrus Kanisius, Yayasan Palung
Setidaknya, foto orangutan jantan ini menggambarkan bagaimana kondisi, suasana atau keadaannya di habitat hidupnya saat ini. Ya, benar saja. Sarang, sisa-sisa makan berupa tebu dari dikawasan pertanian dan perladangan masyarakat sempat dijumpai saat kami berada di kawasan tersebut yang terletak di Desa Sungai Besar, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalbar.
Berdasarkan penelusuran Yayasan Palung, beberapa pekan lalu membenarkan orangutan yang berada di kawasan pemukiman masyarakat dan di wilayah perladangan masyarakat di Desa Sungai Besar tersebut benar adanya.
Terhimpitnya habitat orangutan tersebut tidak lain karena tempat hidup mereka semakin berkurang akibat semakin meluasnya area pertanian berupa ladang-ladang masyarakat. Tidak hanya itu, di kawasan ditemukan orangutan tersebut jarak jangkauannya dari Kabupaten Ketapang ± 20 – 25 km untuk bisa mencapai wilayah itu. Baca Selengkapnya di : http://pontianak.tribunnews.com/2015/02/19/waduh-orangutan-ini-kian-terhimpit-habitat-hidupnya
Selasa, 27 Januari 2015 22:09 WIB
Citizen Reporter
Petrus Kanisius
Yayasan Palung
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID – Yayasan Palung Sediakan Beasiswa Peduli Orangutan Kalimantan. Keberadaan orangutan Kalimantan hingga saat ini mengalami penurunan, demikian pula yang terjadi dengan alam dan lingkungan yang mengalami kerusakan, sudah semakin sulit dicegah atau dalam artian di ambang kepunahan (terkikis habis).
Melalui beasiswa Peduli Orangutan sebagai salah satu program persiapan masa depan untuk peningkatan sumber daya manusia yang peduli terhadap keberlanjutan konservasi alam dan lingkungan untuk keseimbangan sistem kehidupan.
Tahun ini merupakan tahun ke-4 bagi Yayasan Palung untuk kembali menyediakan beasiswa program S-1 melalui Program Peduli Orangutan Kalimantan (Bornean Orangutan Caring Scholarship /BOCS) untuk dua wilayah di dua Kabupaten, Ketapang dan Kayong Utara.
Di tahun 2014 lalu, empat orang berhasil menjadi penerima beasiswa Peduli Orangutan Kalimantan. Sedangkan tahun ini, Yayasan Palung (YP) bersama dengan Orangutan Republik Foundation (OURF) menyediakan 5 (lima) beasiswa program S-1.
Sedangkan dari tahun pertama hingga tahun ke-4, sudah delapan orang tercatat sebagai penerima beasiswa. Mereka kuliah diberbagai fakultas di Universitas Tanjungpura. Harapannya ketika mereka lulus kuliah, terdapat berbagai disiplin ilmu yang dapat dikembangkan untuk konservasi orangutan Kalimantan.
Mariamah Achmad, Manager Pendidikan dan Kampanye Kesadaran Konservasi, sekaligus penanggungjawab program BOCS mengatakan, untuk syarat-syarat penerima beasiswa ini, adalah calon mahasiswa/i yang berasal dari Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara, diutamakan yang kurang mampu secara ekonomi, diusulkan oleh pihak sekolah dan atau atas usulan siswa bersangkutan namun meminta rekomendasi dari pihak sekolah.
Setiap sekolah berhak mengusulkan 2 (dua) orang siswa. Bagi penerima beasiswa, mereka harus berkomitmen untuk konservasi serta mempunyai motivasi yang tinggi untuk kuliah serta bersedia melakukan penelitian skripsi berkaitan dengan aspek-aspek perlindungan dan penyelamatan Orangutan Kalimantan.
Selanjutnya, Mayi sapaan akrabnya menambahkan Beasiswa Peduli Orangutan Kalimantan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pemuda yang sudah menamatkan pendidikan SMA-nya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan kuliah.
Yayasan Palung menyasar dua kabupaten yakni Ketapang dan Kayong Utara dikarenakan wilayah ini merupakan habitat Pongo pygmaeus wurmbii yang merupakan sub spesies orangutan yang sangat penting, yang kini hingga di masa depan perlu dilakukan upaya konservasi untuk keberlanjutan keberadaannya.
Para penerima beasiswa ini diharapkan dapat menjadi agen perubahan untuk keberlanjutan hutan dan keanekaragaman hayati di dua kabupaten tersebut, utamanya orangutan sebagai satwa endemik kebanggaan negara kita.
Dari tahun ke tahun, jumlah penerima beasiswa BOCS selalu bertambah jumlahnya. Mudah-mudahan di tahun-tahun mendatang program inidapat terus berlanjut sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama dan lingkungan sekitar lebih khusus terhadap konservasi lingkungan dan orangutan di Kalimantan.
Penulis: Stefanus Akim
Editor: Mirna Tribun
Sumber: Tribun Pontianak: http://pontianak.tribunnews.com/2015/01/27/yayasan-palung-telah-berikan-delapan-beasiswa-peduli-orangutan-kalimantan
Selasa, 23 Desember 2014 13:58 WIB
Citizen Reporter
Petrus Kanisius ‘Pit’
Yayasan Palung
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID – Dengan menempuh perjalanan cukup panjang, sekitar tiga jam perjalanan naik turun bukit dan sesekali menjumpai alur sungai di sepanjang jalur fieldtrip di Bukit Peramas menuju di Batu Penage (Kawasan Penyangga TNGP) tampak rombongan Sispala CARE, SMA Negeri 2 Ketapang melakukan pendidikan dasar (diksar) bagi anggota baru mereka dengan bermacam rangkaian kegiatan tersebut dari Rabu (17/12/2014) hingga Jumat (19/12/ 2014).
Sore, sekitar pukul 15.30 WIB, rombongan Sispala Care tiba yang berjumlah 28 orang tiba di hutan Pantai Penage. Setibanya di hutan Pantai Penage, panitia dan peserta mendirikan terlihat istirahat sejenak kemudian membangun tenda. Beberapa peserta dan panitia terlihat ada yang mempersiapkan ranting-ranting kayu dan batu untuk tungku memasak. Beberapa di antaranya ada mengambil air untuk menanak nasi. Setelah tenda berdiri, peserta dan panitia berkumpul dan berbaris untuk memulai kegiatan.
Dihari ke dua, kegiatan sispala Care dibekali materi THAB dengan memanfaatkan bahan tumbuh-tumbuhan dan buah disekitar hutan untuk teknik hidup dialam bebas. Beberapa dari peserta diksar diajarkan untuk mencari sayur-sayur, rebung sebagai rempah dan sayur. Sedangkan bambu digunakan sebagai wadah untuk memasak. Peserta terlihat tidak canggung memasak nasi dan sayur dengan menggunakan bambu.
Selanjutnya peserta dan panitia diajak untuk menjajal kemampuan dengan memanjat tebing di lokasi Batu Penage, Batu Penage tersebut setinggi 12 meter. Peserta clambing didampingi Rudi dari FPTI Ketapang sebagai instruktur satu persatu mencoba memanjat dan menuruni tebing batu tersebut. Satu persatu panitia dan peserta mencoba clambing dan reflingsecara bergiliran. Setelah rangkaian kegiatan panjat memanjat selesai di lanjutkan dengan pelantikan bagi peserta baru, Sispala Care angkatan ke-8 dilantik. Peserta kembali untuk berkemas dan keesokan harinya melanjutkan kegiatan di Desa Pampang Harapan.
Pada hari ke tiga, peserta diksar sispala Care melakukan bakti sosial dengan membersihkan lingkungan di sekitar kantor desa dan membersihkan lingkungan di Masjid Pampang Harapan, selanjutnya mereka menanam bibit sebanyak 20 bibit pohon yang berasal dari pembibitan pohon dari Yayasan Palung. Bibit tersebut di tanam di sekitar jalan.
Menurut Fadli Achmad sebagai guru pendamping Sispala Care mengatakan; Pemantapan materi keorganisasian, manajemen perjalanan, tehnik hidup di alam bebas (THAB), pemahaman koservasi, clambing (memanjat) dan rafling (menuruni tebing), navigasi darat dengan menggunakan kompasdan penanaman pohon serta bakti sosial di desa Pampang Harapan sebagai modal awal (materi dasar) dan kepedulian bagi 13 peserta angkatan baru (angkatan ke-8 Sispala Care) yang harus mereka miliki.
Selain itu, lebih lanjut Fadli menegaskan, kegiatan Diksar tersebut bertujuan sebagai pembentukan mental dan karakter untuk lebih peka terhadap lingkungan.
Dalam kegiatan Diksar tersebut, ikut serta Bedu Tri Nugroho dan Petrus Kanisius dari Yayasan Palung, bersama dengan Nur Rohman dari Relawan RebonK. Setelah rangkaian kegiatan selesai, peserta dan panitia kembali berkemas-kemas untuk pulang dengan menggunakan mobil Satpol PP Kabupaten Ketapang menuju Ketapang.
Penulis: Stefanus Akim
Editor: Mirna Tribun
Sumber: Tribun Pontianak : http://pontianak.tribunnews.com/2014/12/23/sispala-care-tanam-20-bibit-pohon-di-jalan
Disini kami umumkan laporan tahunan dari 2013 agar kawan-kawan pembaca bisa lebih kenal pekerjaan Yayasan Palung. Semoga bermanfaat!