Titik Api Dari Kebakaran Mengancam Habitat Orangutan di Tiga Desa di Matan Hilir Selatan, Ketapang Kalbar

Kebakaran yg terjadi di Desa Pelang. dok. MRA/YP
Kebakaran yg terjadi di Desa Pelang. dok. MRA/YP

Kejadiannya kurang lebih sudah seminggu lalu (semejak 22- 27 September 2015) di Desa Sungai Besar dan Desa Pematang Gadung, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Ketapang Kalbar, adanya titik api dari kebakaran ini mengancam habitat orangutan di wilayah tersebut. Bahkan hingga kini di Desa Pelang, titik api masih menyebar.
Penyebab kebakaran seperti di Desa Pelang adalah pembakaran lahan di salah satu areal perkebunan dan perladangan masyarakat. Adapun kebakaran yang terjadi di Desa Sungai Besar karena adanya perluasan lahan untuk pertanian dan di areal perburuan berada di dalam kawasan hutan desa Sungai Besar. Sedangkan di Desa Pematang Gadung, titik api berasal dari kawasan Hutan Desa, area perburuan dan di wilayah pertambangan illegal.

Kebakaran yg terjadi di Desa Pelang. dok. MRA/YP
Kebakaran yg terjadi di Desa Pelang. dok. MRA/YP

Seperti diketahui, wilayah yang tersebar merupakan kawasan rawa gambut dalam (di kedalaman 6 meter lebih) di Pelang dan sungai besar, sedangkan di Pematang Gadung rawa gambut kurang dari 6 meter. Kedua wilayah ini dikenal sebagai tempat hidup (habitat) orangutan. Salah satu kekhawatiran adalah bila kebakaran tersebut menyebar hingga menuju wilayah (kantong-kantong) habitat orangutan. Kejadian kebakaran di tiga wilayah ini bukanlah yang pertama kali, tahun-tahun sebelumnya juga terjadi kebakaran.

Pemadaman titik api di Pematang Gadung. Foto dok. MRA/YP
Pemadaman titik api di Pematang Gadung. Foto dok. MRA/YP

Semakin meluasnya titik api tidak saja menjadi ancaman dengan semakin menyempitnya wilayah dan ruang terhadap habitat dan populasi orangutan, tetapi juga bekantan, kelasi, kelempiau dan burung enggang serta beberapa biodiverty lainya seperti anggrek dan kantong semar.
Luasan wilayah hutan di Pematang Gadung kurang lebih 14.415 ha. Wilayah lainnya seperti Desa Pelang, kawasan yang di jaga 610 ha dan di Sungai besar luasannya sekitar 6.825 ha lebih dikenal sebagai hutan desa.
Seperti pantauan masyarakat, bahkan hingga kini di area Desa Pelang, kebakaran (titik api) masih menyebar dan meluas. Manggala Agni, Pihak dari LPHD (Lembaga Pengelola Hutan Desa) dan beberapa pihak masih berupaya untuk memadamkan titik-titik api tersebut. Di wilayah titik api dari kebakaran lahan di Desa Pematang Gadung hingg kini telah padam. Beberapa pemuda desa berupaya untuk memdamkan titik api kebakaran lahan.
Kebaran lahan yang terjadi menjadi sebuah dilema tidak kunjung berhenti dan terus terjadi dan berdampak pula munculnya kabut asap yang belum berhenti hinga kini. Satu kesatuan dan tanggung jawab bersama dan semua pihak menjadi pilihan agar masalah kebakaran ini tidak berulang. Dengan demikian pula, satu kesatuan makhluk hidup bisa untuk saling menghargai. Semoga saja…
By : Petrus Kanisius- Yayasan Palung

Temuan Di Lapangan Tentang Kerusakan Lingkungan dan Perdagangan Gelap Bagian-bagian Satwa

Sisa-sisa pembersihan lahan (land clearing)
Sisa-sisa pembersihan lahan (land clearing). foto dok. Edward Tang, YP

Masih maraknya perdagangan (transaksi jual beli), lebih khusus ada pembeli dari Malaysia yang datang ke kampung untuk membeli satwa ataupun bagian-bagian tubuh satwa. Beberapa temuan itu tersaji saat Yayasan Palung melakukan ekspedisi pendidikan lingkungan, diskusi masyarakat dan pemutaran film lingkungan keliling kampung di Desa-desa di Kecamatan Sungai Laur, Kabupaten Ketapang, Kalbar, pada 13-17 september 2015, pekan lalu.

Sisa-sisa pembakaran utk peladangan masyarakat. foto dok. Edward Tang YP
Sisa-sisa pembakaran utk peladangan masyarakat. foto dok. Edward Tang YP

Bagian-bagian tubuh satwa yang di cari adalah seperti trenggiling hidup ataupun sisik trenggiling, geliga kelasi dan paruh enggang. Temuan dan informasi tersebut terungkap saat diskusi masyarakat berlangsung. Seorang bapak yang namanya enggan disebutkan mengatakan; “beberapa bulan lalu ada pembeli yang datang ke kampung-kampung dan mencari bila ada seperti geliga kelasi, paruh enggang dan trenggiling hidup”.

Persediaan sumber air semakin krisis berpengaruh pada biota sungai. foto dok. Edward Tang YP
Persediaan sumber air semakin krisis berpengaruh pada biota sungai. foto dok. Edward Tang YP

Adapun kisaran harga beli yang ditawarkan oleh pembeli dari Malaysia antara lain; untuk geliga kelasi harga per geliga kelasi dibeli dengan harga 300- 400 ribu rupiah. Sedangkan untuk harga paruh enggang dengan kisaran harga 500 ribu hingga 1 juta rupiah. Untuk harga trenggiling, perkilogramnya 400-450 ribu rupiah dalam keadaan hidup. tidak hanya itu, sisik trenggiling pun banyak dicari dengan kisaran harga 100-150 ribu rupiah per ons. Pada hal undang-undang telah jelas menerangkan bahwa satwa dan keanekaragaman hayati telah diatur dalam UU no. 5 tahun 1990, Pasal 21 ayat 1 dan 2 menyebutkan :
Ayat (1) Setiap orang dilarang untuk :
1. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
2. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.

Ayat (2) Setiap orang dilarang untuk :
1. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
2. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
3. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
4. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
5. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

Temuan lainnya adalah ketika kami mengadakan lecture di sekolah. Temuan tersebut adalah masih tingginya ancaman terhadap nasib hidup satwa dilindungi seperti orangutan. Salah seorang dari murid di salah satu SLTP mengatakan pernah melihat bahkan memakan orangutan dari hasil buruan sang ayahnya.

Tidak berhenti di situ, kondisi kerusakan lingkungan pun tersaji ketika kami melintasi beberapa ruas jalan menuju Kecamatan Laur. Adapun kondisi kerusakan lingkungan tersebut antara lain seperti adanya pembukaan atau perluasan lahan untuk perkebunan, (ke/ter/di) bakarannya lahan yang diduga untuk perkebunan dan perladangan masyarakat.
Hal lainnya terkait kerusakan lingkungan tidak lain adalah konversi lahan yang menanam tanaman sawit tak jauh berada (berhadapan) dengan sungai di Teluk Parak (Kec. Nanga Tayap). Jaraknya hanya beberapa meter saja, tidak sampai 100 meter. Tanaman sawit tersebut belum diketahui apakah milik perusahaan atau masyarakat. Persoalan mendasar tentang keberadaan tanaman sawit yang berada dekat sempadan sungai berimbas kepada dampaknya kekeringan yang berpengaruh pada keadaan ekologi, sosial, ekonomi budaya masyarakat.

Tanaman Sawit sangat dekat dengan sempadan sungai. dok. Edward Tang
Tanaman Sawit sangat dekat dengan sempadan sungai. dok. Edward Tang

Tidak bisa di sangkal, keberadaan tanaman sawit yang berada di dekat sungai tidak bisa dibenarkan karena membuat daya tampung air semakin berkurang bahkan sumber airnya mendangkal dan semakin kering. Biota sungai seperti ikan terancam mati dan potensi sumber hidup masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan hidup berupa lauk pauk menjadi sangat berpengaruh. Seperti diketahui, ikan menjadi sumber lauk/makanan masyarakat menjadi tidak tersedia lagi, akibatnya masyarakat harus membeli dengan harga tinggi di tengah ekonomi sulit saat ini. Pengaruh sosial dan budaya masyarakat menjadi hilang karena sudah semakin jarang atau tidak ada rutinitas kebiasaan masyarakat untuk menjaga lingkungan menjadi terkikis oleh masuknya investasi yang tidak sisi-sisi lingkungan dan hak-hak masyarakat.

kobaran api di wilayah kecamatan sungai laur yg dijumpai, diperkirakan untuk perladangan atau perkebunan. foto dok. Ranti YP
kobaran api di wilayah kecamatan sungai laur yg dijumpai, diperkirakan untuk perladangan atau perkebunan. foto dok. Ranti YP

Selain itu, akumulasi dari dampak tersebut diatas secara menyeluruh dapat berakibat kepada kondisi alam dan manusia yang semakin tidak stabil dan krisis. Mengingat, tata aturan (peraturan pemerintah) melalui UU no 41 tahun 1999, pasal 50 ayat 3 yang jelas-jelas menyatakan; melarang setiap orang untuk menebang (membuka lahan) kiri dan kanan sungai dengan jarak 100 meter. Sedangkan untuk sanksi terhadap pelanggaran pasal 50 ayat 3 menyatakan; barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud (pasal 50 ayat 3) tersebut diancam pidana 10 tahun dan denda 5 milyar rupiah.
Dari beberapa temuan tersebut, besar harapan agar adanya perhatian dari semua pihak untuk memberikan solusi terbaik. Jika tidak persoalan lingkungan yang semakin krisis tentu akan berpengaruh besar juga terhadap keberlangsungan hidup manusia secara berlanjut. Semoga saja..
By : Petrus Kanisius dan Edward Tang – Yayasan Palung

Tulisan ini pernah dimuat di : http://ceritaanda.viva.co.id/news/read/679879-kerusakan-lingkungan-dan-perdagangan-tubuh-satwa

Saat Yayasan Palung Melakukan Ekspedisi Pendidikan Lingkungan Kami Memperoleh Informasi Ada Pembeli Yang Cari Satwa Dilindungi

Saat diskusi masyarakat tentang orangutan dan ancamannya di desa  Riam Bunut, Sungai Laur
Saat diskusi masyarakat tentang orangutan dan ancamannya di desa Riam Bunut, Sungai Laur. Foto dok. Ranti/YP

Saat YP Melakukan Ekspedisi Pendidikan Lingkungan, Memperoleh Informasi Masih Maraknya Pembeli Dari Malaysia Mencari Geliga Kelasi, Paruh Enggang dan Trenggiling Hidup.
Kami banyak memperoleh informasi dari masyarakat tentang masih adanya pembeli khusus beberapa satwa dilindungi, adapun pembeli tersebut berasal dari Malaysia untuk mencari geliga kelasi, paruh enggang dan trenggiling terungkap saat diskusi dengan masyarakat di Desa Teluk Mutiara atau dulunya dikenal dengan nama Kenyauk. Hal tersebut tersaji saat Yayasan Palung melakukan ekspedisi pendidikan lingkungan, diskusi masyarakat dan pemutaran film lingkungan keliling kampung di Desa-desa di Kecamatan Sungai Laur, selama lima hari 13-17 september 2015.

Saat puppet show di SDN 1 Sungai Laur

Puppet show di SDN 1 Sungai Laur

Murid-murid SDN 1 sangat antusias mengikut puppet show. Foto dok. YP

Dalam diskusi tersebut, salah seorang peserta diskusi yang namanya enggan disebutkan mengungkapkan; “beberapa bulan lalu ada pembeli yang datang ke kampung-kampung dan mencari bila ada seperti geliga kelasi, paruh enggang dan trenggiling hidup”. Lebih lanjut dikatakan, untuk geliga kelasi harga per geliga kelasi dibeli dengan harga 300- 400 ribu rupiah. Sedangkan untuk harga paruh enggang dengan kisaran harga 500 ribu hingga 1 juta rupiah. Untuk harga trenggiling, perkilogramnya 400-450 ribu rupiah dalam keadaan hidup. tidak hanya itu, sisik trenggiling pun banyak dicari dengan kisaran harga 100-150 ribu rupiah per ons”, demikian jelasnya.

Saat diskusi dengan masyarakat di Desa Teluk Mutiara/Kenyauk. Foto dok. Ranti/YP
Saat diskusi dengan masyarakat di Desa Teluk Mutiara/Kenyauk. Foto dok. Ranti/YP

Tidak hanya itu, ternyata ancaman terhadap orangutan di Kecamatan Sungai Laur cukup tinggi. Perburuan masih terjadi. Yang cukup mengagetkan kami, saat kami bertanya dalam lecture di SMPN 01 Sungai Laur. Kagetnya kami adalah ketika kami bertanya; siapa yang pernah melihat langsung orangutan?. Tiba-tiba salah seorang murid mengaku dia pernah melihat bahkan makan orangutan kurang dari sebulan lalu. Menurutnya, orangutan yang ia makan tersebut didapatkan oleh ayahnya memburu di hutan sekitar Laur.
Pada saat ekspedisi pendidikan lingkungan, kami melakukan beberapa rangkaian kegiatan. Rangkaian kegiatan tersebut antara lain adalah melakukan lecture (ceramah lingkungan) di SMAN 1 Sungai Laur. Adapun materi yang di sampaikan antara lain tentang orangutan yang memiliki peranan besar terhadap kelestarian lingkungan dan manusia sebagai sumber hidup dan keberlanjutan nafas hidup. Selanjutnya pemutaran film lingkungan kami lakukan di desa Riam Bunut, Sungai Laur.
Di Pagi hari, pukul 08.00 Wib kami mengadakan puppet show (panggung boneka) di SDN 01 Sungai Laur. Adapun tujuan dari puppet show tersebut untuk menyampaikan informasi tentang orangutan sebagai satwa langka yang memiliki peranan besar bagi kehidupan masyarakat di sekitar hutan yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Palung. Selanjutnya di sore hari sekitar pukul 16.00 Wib, kami mengadakan diskusi dengan masyarakat tentang apa ancaman habitat saat ini di desa mereka.

 

Saat pemutaran film di Desa Riam Bunut, Sungai Laur
Saat pemutaran film di Desa Riam Bunut, Kecamatan Sungai Laur. Foto dok. Ranti/YP.
Saat pemutaran film di Desa Teluk Mutiara, Sungai Laur
Saat pemutaran film di Desa Teluk Mutiara, Sungai Laur . Foto dok. YP

Di malam hari (16/9), kami melanjutkan pemutaran film lingkungan di Desa Teluk Mutiara. Adapun film lingkungan yang Kami putarkan antara lain adalah film dokumenter tentang hari esok yang menghilang dan beberapa film lingkungan lainnya serta film hiburan. Sebagian masyarakat tampak semangat dan sepertinya terhibur saat menonton film lingkungan yang kami suguhkan. Beberapa diantara mereka sesekali terlihat tertawa dan beberapa berkomentar sembari mengingat-ingat hal yang terjadi ketika masih maraknya perembahan hutan beberapa tahun lalu di kampung mereka. Sebelumnya di sore harinya kami melakukan juga diskusi masyarakat yang mana kami banyak mendapat informasi tentang ancaman dan masih adanya proses jual beli satwa.

Saat lecture di SMAN 1 Sungai Laur
Saat lecture di SMAN 1 Sungai Laur. Foto dok. YP

Keesokan harinya, tepatnya di hari kamis pagi (17/9/ 2015) di tengah kabut yang cukup tebal kami menyempatkan untuk kembali memberikan materi pendidikan lingkungan dengan mengadakan lecture di SDN 5 Teluk Mutiara. Di setiap sekolah yang kami kunjungi tersebut juga, kami memberikan free test dan pos test tentang orangutan. Tujuannya untuk mengukur pengetahuan dan daya serap serta pemahaman mereka sebelum dan sesudah materi yang kami sampaikan. Di setiap sekolah yang kami kunjungi juga, kami selalu menyanyikan lagu Pongo (lagu tentang orangutan).

 

Saat memberikan free test dan post test setelah materi
Saat memberikan free test dan post test setelah materi tentang orangutan. Foto dok. YP

Setelah lima hari, kami dari Tim Pendidikan Lingkungan Yayasan Palung yang terdiri dari Mariamah Achmad, Edward Tang, Ranti Naruri dan Petrus Kanisius serta Herie Handoko salah seorang relawan kami menyudahi seluruh rangkaian kegiatan. Dalam perjalanan pulang menuju Ketapang, kami masih menjumpai kepulan asap dan kobaran api yang masih menyala dari sisa pembakaran lahan, diperkirakan untuk perladangan dan perkebunan dibeberapa wilayah di sepanjang perjalanan.

kobaran api di wilayah kecamatan sungai laur yg dijumpai, diperkirakan untuk perladangan atau perkebunan
Kobaran api di wilayah kecamatan sungai laur yg dijumpai, diperkirakan untuk perladangan atau perkebunan. Foto dok. YP

Tulisan ini sebelumnya dimuat di : http://pontianak.tribunnews.com/2015/09/19/ada-pembeli-yang-cari-paruh-enggang-ke-kampung
By : Petrus Kanisius ‘Pit’- Yayasan Palung

Melihat Indahnya Ragam Hayati Karya Sang Pencipta di Lubuk Baji

Anggrek cantik
Anggrek Cantik yang dijumpai di Lubuk Baji. foto dok. Ranti Naruri, YP

Melihat secara langsung indahnya ragam hayati (keanekaraman hayati) di Lubuk Baji merupakan salah satu karya Sang Pencipta yang sayang untuk dilewatkan. Indahnya karya Sang pencipta itu tertuang dalam gambar berupa foto-foto jepretan teman-teman saat berkegiatan pada 4-6 September 2015, pekan lalu.
Lubuk Baji yang merupakan salah kawasan zona pemanfaatan di Taman Nasional Gunung Palung (TNGP). Di kawasan ini, beragam kegiatan sering dilakukan seperti salah satunya adalah pendidikan lingkungan. Hampir setiap bulan Yayasan Palung berkesempatan mendampingi dan memberikan materi pendidikan lingkungan untuk beberapa sekolah yang ada di wilayah Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
20 orang dari Sispala Repatones, SMA PL. St. Yohanes dan dua orang guru pendamping bersama Yayasan Palung melakukan kegiatan pendidikan lingkungan. Kegiatan tersebut adalah Fieldtrip (kunjungan lapangan). Ragam kegiatan seperti pengamatan tumbuh-tumbuhan, pengamatan satwa dan beberapa materi tentang lingkungan seperti metode pengamatan satwa menjadi salah satu materi yang disampaikan.

Saat diskusi ttg daun
Sispala Repatones saat persentasi dan diskusi tentang klasifikasi daun. dok. M. Rizal Alqadrie, YP

Selama berkegiatan, banyak hal menarik yang dijumpai. Mengingat, mereka bisa belajar secara langsung di alam. Indahnya keanekaragaman hayati seperti anggrek cantik yang tumbuh di tanah diperkirakan anggrek ini jenis baru. Selain itu juga bertemu jamur, katak hijau kekuning-kuningan di atas daun dan katak bintik-bintik berwarna cokelat, berkepala segitiga dan sejenis tumbuhan Amorphophallus titanum. Hal menarik lainnya, mereka bertemu dengan burung julang emas (Aceros undulatus). Burung julang emas termasuk jarang dan sulit dijumpai.

Bila beruntung, sesekali orangutan bisa dijumpai di Lubuk Baji. Kelempiau, kelasi dan beberapa satwa lainnya. Namun kali ini, peserta tidak berjumpa dengan orangutan di tempat tersebut.
Keindahan dari karya Sang Pencipta tersebut mengingatkan akan nafas hidup yang tidak hanya manusia tetapi juga ragam tumbuh-tumbuhan dan satwa sebagai satu kesatuan bisa untuk diceritakan.

Berikut beberapa ragam foto yang cukup menarik hasil dari jepretan teman-teman saat melakukan pengamatan tumbuhan dan satwa di Lubuk Baji :

Julang Emas_ Foto Rizal_2
Burung julang emas (Aceros undulatus). Foto dok. M. Rizal Alqadrie, YP

 

 

Kodok hijau kekuning2an
Kodok hijau kekuning-kuningan. Foto dok. M. Rizal Alqadrie, YP
tumbuhan sejenis Amorphophallus titanum
Tumbuhan sejenis Amorphophallus sp. Foto dok. M. Rizal Alqadrie, YP

Jamur yang dijumpai di lubuk baji

Burung julang emas (Aceros undulatus). Foto dok. M. Rizal Alqadrie, YP

Kodok kepala segitiga_ warnanya menyerupai daun kering
Kodok kepala segitiga, warnanya menyerupai daun kering. Foto dok. M. Rizal Alqadrie, YP

Ragam kekayaan hayati ini juga menjadi sebuah tanda akan nafas keberlanjutan. Berharap karya sang Pencipta di Lubuk Baji menjadi realita nyata untuk dipelihara, dijaga dan mudah-mudahan bisa lestari hingga nanti dan selamanya. Semoga saja…

Tulisan yang sama juga dapat dilihat di :
http://www.kompasiana.com/pit_kanisius/melihat-indahnya-ragam-hayati-karya-sang-pencipta-di-lubuk-baji_55efe74b8f7a618214985938

http://pontianak.tribunnews.com/2015/09/07/bertemu-julang-emas-saat-fieldtrip-di-lubuk-baji

By : Petrus Kanisius- Yayasan Palung

Mengenang Sosok Pak Udin Seorang Petani dan Pemilihara Lingkungan

Almarhum Jainuddin1

Almarhum Bapak Jainudin (Pak Udin) Semasa Hidup
Untuk seorang teman, sahabat, bapak dan guru bagi kami, Bapak Jainudin, yang akrab disapa Pak Udin. Beliau telah berpulang (meninggal dunia), pada; 25 Agustus 2015 karena sakit, di usianya yang ke 60. Kami Keluarga besar Yayasan Palung (GPOCP) sangat kehilangan dengan berpulangnya Pak Udin.
Kami keluarga besar dari Yayasan Palung sangat kehilangan dari seorang sosok Pak Udin. Sebagai teman; Pak Udin dikenal dengan kesederhanaannya, Keramahannya, kesetiaannya, keikhlasannya dan bersahaja serta keuletan dalam bekerja untuk membantu masyarakat.

Sebagai seorang bapak; Pak Udin dikenal ikhlas bersanda gurau dengan siapa saja termasuk anak muda dan siapa saja. Sebagai guru; banyak hal baik dan semangat yang beliau ajarkan kepada kami.

Organic Farming at Bentangor

Pak Udin saat merawat tanaman dan lingkungan

Organic Farming at Bentangor 3

Pak Udin dan berbagai bibit tanaman organik

Bapak Jainudin, dari awal hingga akhir hayatnya mencurahkan seluruh jiwa raganya untuk konservasi di Tanah Kayong. Bapak Jainudin pernah menjadi asisten peneliti di Stasiun Riset Cabang Panti, Gunung Palung, saat itu menjadi Asisten peneliti bagi Cheryl Knott dan Tim Laman dan beberapa peneliti lainnya selama kurang lebih 15 tahun. Pada tahun 2002- 2006; membantu Yayasan Palung di APLP (Arena Pembelajaran Lingkungan Peramas) yang sekarang menjadi pusat perkantoran Pemerintah Kab. Kayong Utara, beliau pada waktu itu membantu sebagai pemandu untuk jalur field trip anak-anak sekolah. Selanjutnya Pak Udin, dari tahun 2010- 2015; bekarja di Yayasan Palung sebagai Staf di program pertanian organik di Pusat Pendidikan Lingkungan Yayasan Palung (Environmental Education Bentangor Pampang Center Yayasan Palung) di Desa Pampang Harapan.
Selamat jalan teman/kawan, sahabat, bapak dan guru kami Bapak Jainudin (Pak Udin), terima kasih dari kami dari Yayasan Palung (GPOCP) untuk semua pengabdianmu hingga akhir hayatmu.
Kami akan selalu mengenang segala jasa-jasamu dan semoga amal ibadahmu di terima oleh Allah SWT, bagi keluarga almarhum semoga tabah. Amin…

Merdeka Dimanakah Kita, Anak Muda?

indonesia-merdeka-55cda94a6023bdea07caf941

Foto dok. mobavatar.com, dlm berdikari.com

Tahun 2015, tepatnya tanggal 17 Agustus, Indonesia sudah memasuki usia yang ke-70 tahun sejak 1945 untuk memperingati hari kemerdekaannya. Beragam persiapan seperti upacara bendera bersama, perlombaan-perlombaan, refleksi dari makna kemerdekaan dan lain sebagainnya. Hal itu sepertinya menjadi ragam untuk menjadi rutinitas yang selalu dipersiapkan dan memaknai kemerdekaan negara tercinta Indonesia. Sebuah tanya, medeka dimanakah kita, anak muda?.
Tentu para pejuang bangsa ini tidak habis akal dan cara bagaimana mereka dulu berjuang dengan tetes darah penghabisan tetapi tidak pamrih. Sejatinya mereka hanya memikirkan bagaimana cara agar bangsa ini terbebas dari segala penjajahan. Keberhasilan menumpas penjajahan di medan perang mungkin telah usai, dan kita bisa sebut merdeka. Demikian juga setiap 17 Agustus selalu diperingati untuk mengenang jasa dan hasil para jerih payah pejuang dalam memperjuangkan bangsa ini hingga terbebas dari para penjajahan. Namun kini, kemerdekaan bangsa cenderung berbalik arah menjadi tanya merdeka dimanakah?. Jawabnya mungkin salah atau juga benar, secara kasat mata atau terselubung bisa dikatakan bangsa ini sejujurnya belumlah sepenuhnya merdeka.

Dimanakah kita belum merdekanya ?

– Belum merdeka sepenuhnya dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), tengok saja semakin banyak yang terjerat kasus korupsi bahkan hingga singgasana jabatan ada yang mencoba membuat dinasti. Ini sungguh-sungguh terjadi dan sedikit banyak mencederai bangsa ini.
– Tingkat kemiskinan masih saja tersebar dibeberapa provinsi di Indonesia. Tidak untuk mengoreksi pemerintah dari dulu hingga sekarang, namun sepertinya tingkat kemiskinan dan orang miskin semakin bertambah.
– Harga kebutuhan pokok semakin meroket, rakyat kecil semakin menjerit.
– Sumber Daya Alam semakin kritis dan terkikis. Kekayaan alam Indonesia hanya segelintir orang yang menikmati dan negara-negara luar. Kerusakan lingkungan semakin menghawatirkan. Banyak yang menyalahkan alam, tetapi sesungguhnya bukan alam semesta yang disalahkan.
– Ekonomi dan mata uang masih belum stabil. Banyak negara yang takut untuk investasi.
– Orang-orang pintar (SDM) lebih memilih kerja dan berkarya di luar negeri karena jarang dihargai. Demikian juga sebaliknya di daerah, putra daerah jarang diberi kesempatan untuk membangun daerahnya.
– Tidak sedikit para pejabat yang hanya memikirkan harta, tahta dan kepentingan duniawi demi diri ketimbang berderma untuk sesama yang lebih membutuhkan.
– UUD seperti semudah membalikan telapak tangan sehingga dipermainkan dan hanya untuk kepuasan semata yang mengatasnamakan untuk pemerataan pembangunan.
– Kekerasan fisik, terhadap anak, kurangnya penghargaan terhadap kaum difabel dan duafa kian menjamur diberbagai penjuru.
– Pemerataan pembangunan dan infrasuktur disegala bidang menjadi kendala utama karena wilayah Indonesia yang luas. Gedung pencakar langit vs gubuk-gubuk di tepi hutan dan tepian sawah.
– Masih ada masyarakat yang gelap gulita belum bisa menikmati penerangan, belum bisa sekolah karena tidak ada biaya dan tidak bisa berobat karena tidak ada medis. Ini benar-benar terjadi di pedalaman-pedalaman (mungkin dari Sabang sampai Merauke).
– Adat dan budaya terkadang jarang ditonjolkan akibat kalah bersaing di era modern saat ini. Anak muda lebih suka meniru hal-hal baru yang cenderung menghilangkan adat dan budayanya.
Satu kata tentang sebuah tanda tanya ini mungkin bisa dikata adalah pekerjaan rumah bangsa ini dan termasuk kita semua. Para pejuang menitipkan capaian kemerdekaan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk saling bahu membahu dan membangun berkeinginan mejaga nama negara tercinta.
Semoga saja… Merdeka….!!!!.. bukan Mereka.
By : Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Tulisan ini juga sebelumnya telah dimuat di kompasiana.com, link tulisan ; http://www.kompasiana.com/pit_kanisius/merdeka-dimanakah-kita-anak-muda_55cdab2827b0bd690ef5ae53

Ekspedisi Pendidikan Lingkungan Yayasan Palung

saat memberikan lekture tentang orangutan

Foto : saat memberikan lecture (ceramah lingkungan) di Tayap

Yayasan Palung melakukan Ekspedisi Pendidikan Lingkungan di Desa Batu Mas dan Desa Kayong Utara Kec. Nanga Tayap selama 5 hari pada 10 – 14 Juni 2015. Kami menjangkau masyarakat di perhuluan kabupaten Ketapang yang berdiam di sekitar kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Palung. Kami melakukan diskusi masyarakat, pemutaran film di lapangan terbuka (di Desa Batu Mas kami menggunakan halaman SD setempat dan lapangan sepak bola di Desa Kayong Utara), puppet show di SD dan lecture di SMP di dua desa tersebut. Kami mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap keberadaan keanekaragaman hayati khususnya orangutan sebagai species kunci hutan dan perlindungan hutan itu sendiri.

Siswa SD dari kelas 1 hingga 5, SMP dari kelas 7 – 8, kepala sekolah dan para guru, kepala desa dan aparat desa di dua desa tersebut menyambut kedatangan kami dengan baik, begitu juga dengan masyarakatnya, mereka senang dengan kedatangan kami.

Murid-murid SD di Tayap yang mengikuti lecture
Murid-murid SD di Tayap yang mengikuti lecture

Kami sangat terkesan dengan dukungan yang diberikan oleh Kepala Desa Batu Mas (Ibu Yulita Suweli), dia pemimpin yang tegas, cerdas, cantik (pula) dan selalu berusaha hadir dalam aktifitas-aktifitas masyarakat di desanya termasuk hadir pada semua kegiatan kami, ini pertama kalinya dalam kegiatan Yayasan Palung di sekolah dihadiri oleh seorang kepala desa. Di Desa Batu Mas kami menginap di rumah Ibu Kepala Desa dengan keramahan yang tidak dapat dilupakan juga dari suami dan keluarganya. Demikian juga dengan Kepala Desa Kayong Utara (Bapak Kadorusno), seorang laki-laki muda yang mau mengurus desanya, dia membuat pekerjaan kami di desa ini berjalan dengan sukses. Kami menginap di rumahnya, dan merasa sangat terbantu dengan keramahan istrinya berinteraksi dengan kami.

Di Desa Batu Mas sudah terdapat dua perusahaan sawit yaitu PT. BGA dan PT. LHP yang membuat jarak hutan dari desa semakin jauh. Siswa tidak banyak yang tahu tentang orangutan, begitu juga masyarakatnya sudah jarang melihat orangutan di hutan, mereka juga merasakan kehilangan hutan karena tidak dapat lagi mencari sayur-sayuran di hutan dan desa terasa kering.

Desa Kayong Utara terletak di tengah hutan, belum ada listrik negara, menurut warga terlalu jauh untuk memasukkan gardu listrik hingga ke desa ini, dengan kata lain desa ini termasuk dalam desa terpencil dan terisolasi. Warga mendapatkan penerangan dari jam 6 sore hingga jam setengah sebelas malam dari generator yang dibiayai secara swadaya oleh mayarakat dan bantuan bahan bakar solar dua drum per bulan dari sebuah perusahaan pengusahaan hutan yang beroperasi di daerah ini (PT. SJM). Tidak berapa jauh dari desa ini terdapat sebuah perusahaan sawit yang sama dengan Desa Batu Mas yaitu PT. BGA. Namun kondisi hutan disini masih cukup baik, menghasilkan banyak hasil hutan bukan kayu seperti madu yang sangat menunjang perekonomian masyarakat. Pengetahuan siswa tentang orangutan juga cukup baik, dan masyarakat mengatakan ladang mereka tidak diserang hama seperti di desa lain yang jauh dari hutan karena hama seperti belalang sudah dimakan oleh binatang-binatang yang masih banyak terdapat di dalam hutan.

Perkebunan menjadi salah satu ancaman yang menakutkan terkait keberlanjutan hutan dan lingkungan sekitar saat ini. foto dok. YP

Perkebunan merupakan salah satu tantangan besar bagi satwa dan habitatnya. foto dok. YP

Perjalanan ini sangat menyenangkan, walaupun jalan yang dilewati dari Ketapang ke Nanga Tayap rusak dikarenakan musim hujan membuat jalan berlubang di banyak bagian yang membuat badan bergoyang *dumang* dengan serunya, tetapi terhibur dengan anak-anak penjaga “miting” di jalan-jalan yang rusak berat, perginya kami beri mereka upah uang Rp. 2.000,- – Rp. 3.000,- dan pulangnya kami beri biskuit tanggo sisa gift siswa. Juga banyak gurauan dari teman-teman selama perjalanan kami.

Dari Nanga Tayap ke Batu Mas selama 30 menit jalan aspal goreng mulus, tetapi dari Nanga Tayap – Dusun Riam Batu Desa Kayong Utara jalan tanah dengan sedikit pengerasan kerikil, ada bagian-bagian yang licin seperti licinnya minyak sawit, menanjak dan menurun (pula), sesuai dengan pemandangan di kanan kiri jalan tanaman sawit milik perusahaan sawit PT. BGA.

Seluruhnya ada 8 kegiatan yang kami lakukan dalam ekspedisi ini, jangan ditanya capeknya badan kami, tetapi kami senang bisa berkunjung ke daerah baru, bertemu dan berbagi pengetahuan dan wawasan bersama warga yang tinggal di sekitar hutan yang merupakan habitat Orangutan pygmaeus wurmbii. Kami mengucapkan terima kasih kepada Orangutan Outreach yang memungkinkan kami melakukan kegiatan ini dan special thanks kepada Deri Irawan, penerima beasiswa peduli orangutan Kalimantan asal Kecamatan Nanga Tayap yang sudah memulai debutnya “magang” di Yayasan Palung, bahkan sebelum dia mulai kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Deri membantu mengkoordinasikan kegiatan ini kepada kepala desa dan kepala sekolah di dua desa tersebut, dia juga ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan ini.

Tulisan by : Mariamah Achmad, Conservation Awareness and Environmental Education Manager of Yayasan Palung

Satu Individu Bayi Orangutan Jantan Berhasil Diselamatkan dari Kawasan Konsesi

Tim gabungan; BKSDA Kalbar SKW 1 Ketapang, YIARI dan Yayasan Palung saat melakukan Rescue bayi orangutan di Sungai Besar. foto dok. Edi/YP
Tim gabungan; BKSDA Kalbar SKW 1 Ketapang, YIARI dan Yayasan Palung saat melakukan Rescue bayi orangutan di Sungai Besar. foto dok. Edi/YP

Satu individu bayi orangutan Kembali berhasil diselamatkan (rescue) oleh BKSDA Kalimantan Barat Seksi Konservasi Wilayah I Ketapang bersama YIARI dan Yayasan Palung dari kawasan konsesi yang letaknya di Desa Sungai Besar Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalbar, pada Senin siang kemarin (27 /7/2015).
Dalam proses rescue orangutan ini, tim rescue berangkat ke lokasi dari kantor Seksi Wilayah I Ketapang dengan jarak tempuh kurang lebih 21 kilometer, sekitar pukul 9.30 WIB.
Setelah sampai ke lokasi, tim langsung menuju rumah pemilik bayi orangutan dengan disaksikan beberapa warga yang tinggal di sekitar pemilik bayi orangutan. Adapun bayi orangutan berjenis kelamin jantan dan berusia kurang lebih lima bulan.

Menurut keterangan Maman (pemilik bayi orangutan) mengatakan, bayi orangutan tersebut ditemukan ketika saat dia sedang memancing ikan gabus di danau yang berada di dekat kawasan hutan Sungai Besar, tiga minggu lalu.
Lebih lanjut menurut Maman, selang beberapa waktu Ia mendengar suara setelah dicari arah suara tersebut ternyata ditemukan 1 individu bayi orangutan yang ditinggalkan induknya dan memanjat pohon kayu yang sudah mati.

Karena merasa iba (kasihan) serta dikhawatirkan bayi orangutan itu mati, bayi orangutan tersebut langsung ia bawa pulang dan diberi minum susu. Selang beberapa hari Bapak Maman meminta bantuan kepada beberapa warga untuk memberitahu kepada pihak yang berwewenang serta menyampaikan kepada Yayasan Palung bahwa bayi orangutan ini akan diserahkan untuk mendapatkan perawatan lebih baik.
Setelah dilakukan serah terima dan penandatangan Berita Acara (BA) serah terima dan kemudian bayi orangutan dibawa ke pusat rehabilitasi YIARI.
Proses rescue tersebut disaksikan oleh banyak warga, maka momentum ini dimanfaatkan oleh pihak BKSDA yang diwakili Adi Susilo untuk menyampaikan himbauan kepada warga untuk tidak memelihara, memburu serta memperdagangkan satwa dilindungi termasuk orangutan.
Selain itu juga, menurut keterangan beberapa warga bahwa di lokasi ditemukannya bayi orangutan ini sering warga menjumpai orangutan yang masuk dan merusak tanaman milik masyarakat bahkan beberapa bulan terakhir pihak BKSDA bersama YIARI telah me-rescue beberapa individu orangutan dari lokasi tersebut.
Edi Rahman, Manager Program Perlindungan Satwa (PPS) dari Yayasan Palung, menambahkan; memang di lokasi ditemukan bayi orangutan ini terdapat kawasan hutan dengan status kawasan Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Konversi (HPK) dan telah ditetapkan oleh Kementerian Republik Indonesia sebagai Hutan Desa (HD) Sungai Besar berdasarkan Surat Keputusan Nomor: 586/Menhut-II/2011 dengan luas ± 6.825 Hektare (HP ± 4.825 Hektare dan HPK ± 2.000 Hektare). Kawasan hutan ini merupakan habitat orangutan serta masih terdapat populasi orangutan tetapi di sekitar kawasan hutan ini terdapat berbagai ancaman yang cukup tinggi baik ancaman pembukaan perkebunan sawit, pertambangan illegal, kebakaran hutan dan illegal logging.

Sebelumnya tulisan ini telah masuk dibeberapa media cetak dan online seperti di Pontianak Post, Tribun Pontianak, Suara Pemred dan kompasiana.com. Link tulisan di kompasiana : http://www.kompasiana.com/pit_kanisius/satu-individu-bayi-orangutan-jantan-berhasil-diselamatkan-dari-kawasan-konsesi_55b9aac7397b613c2b29e81e

By :Petrus Kanisius- Yayasan Palung

Namaku Ned dari Taman Nasional Gunung Palung

Orangutan baru, bernama Ned_ Foto dok. Kat Sccott

Orangutan baru di TNGP, bernama Ned. Foto dok. Kat Sccott

Aku tinggal tak jauh dari habiatku di hutan tropis di Borneo tepatnya di Gunung Palung yang letaknya di dua kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, Kalbar.
Bertahun-tahun aku tinggal bergelantungan ke sana kemari mengitar sepanjang hutan itu.
Hari-hariku dari pagi hingga senja menyapa aku berkelayapan untuk mencari makan berupa buah-buahan, serangga, umbi-umbian, kulit kayu.
Sore harinya aku selalu menyiapkan tempat istrihatku berupa sarang, setiap hari aku selalu membuat sarang dari daun-daun dan bekas ranting kayu.
Menjelang pertengahan tahun ini aku sengaja menampakan diriku dan bergabung dengan teman-temanku di tempat ini.
Sebelum-sebelumnya aku tidak punya nama, namun sahabat peneliti menemukanku saat aku sedang bermain-main, kemudian mereka memberiku nama.
Aku bersyukur karena aku sekarang sudah memiliki nama sama seperti teman-temanku yang sudah lama bergabung dan tinggal di Stasiun Riset Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung.
Ragam jenis tumbuh-tumbuhan sering ku jumpai sama halnya dengan satwa-satwa lainnya.
Dalam arti namaku, aku tidak ada arti lain dari namaku itu, cukup panggil aku Ned.
Nama Ned tidak lain adalah Ned itu sendiri dan Aku Ned ialah orangutan jantan yang baru saja diemukan tinggal di Gunung Palung.
Mudah-mudahan aku bisa tinggal lama di TNGP dan TNGP tempat dimana aku tinggal bisa terus ada.

By : Petrus Kanisius-Yayasan Palung

Sebelumnya tulisan ini ditulis di kompasiana.com, lihat link : http://www.kompasiana.com/pit_kanisius/namaku-ned-dari-taman-nasional-gunung-palung_55af5551d07a613e2c5d39da

 

Rinduku Pada Rimba Raya Hutan Borneo Yang Masih Utuh: Inginku Mengajak Orangutan Mengunjunginya #Awesomejourney

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com

Pada suatu hari, aku ingin mengunjungi rimba raya hutan Borneo yang masih utuh. Entah mengapa aku rindu sekali dengan rimba raya atau hutan rimba raya tersebut. Rencananya aku ingin sekali mengajak orangutan. Kerinduanku akan rimbunnya rimba raya bermula ketika aku banyak mendengar cerita ataupun kabar tentang berbagai kisah tentang hutan yang sekarang semakin berkurang diambang sisih tak bersisa. Mengingat juga, orangutan pernah curhat terlontar ditelingaku tentang jerit dan tangis mereka akan hutan sebagai rumah mereka, tempat mereka bertahan hidup semakin sempit.
Kerinduanku itu terus saja merasuki pikiran. Persoalan sekarang adalah kapan ada waktu yang tepat antara aku dan orangutan untuk bisa bersama mengunjunginya. Mengingat, orangutan yang ingin aku ajak semakin sulit kutemui. Sesekali aku pernah berjumpa tetapi hanya sekedar berpapasan saja, belum sempat ngobrol tentang keinginanku mengajak orangutan mengunjungi hutan Borneo yang masih utuh itu . Sepertinya, orangutan yang kuajak tersebut akan senang dan bahagia. Mudah-mudahan saja, harapku.
Hutan Borneo yang rencananya aku kunjungi menurut kabar adalah hutan di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP). Hutan di Kawasan tersebut sedikit lebih baik dibandingkan dengan hutan-hutan yang berada di luar kawasan. Ada beberapa hutan seperti hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan lindung dan hutan yang berada di dekat prmukiman masyarakat namun kondisinya tidak lagi utuh sepenuhnya.
Suatu pagi, saat aku duduk termenung di pondok ladang seorang diri. Sembari berpikir sejenak bagaimana rencanaku mencari cara mengajak, mengobrol dan berdiskusi dengan orangutan untuk mengunjungi hutan Borneo itu. Tidak disangka, seketika orangutan jantan muncul dan memanggilku dengan suara nyaringnya. Dari bahasanya, sepertinya orangutan tersebut sedang kebingungan. Benar saja, setelah saya mencoba mendekati dan bertanya kepada orangutan itu; ada apa gerangan orangutan?. Terlihat, selain kebingungan, tergesa-gesa dan ketakutan orangutan tersebut juga seperti sedang merasa sedih.
Orangutan itu menjawab pertanyaanku dengan tergesa-gesa seolah sedang berada dalam ancaman dan ketakutan; “hutanku… tempat aku sehari-hari berdiam kini digusur lagi, kemana lagi aku berdiam?”. Demikian jawab orangutan itu kepadaku.
Orangutan tersebut sepertinya sedang berada dalam keputus asaan dan hilang harapan melihat kondisi hutan sebagai habitat hidupnya digusur. Setelah mengabarkan hal yang dialaminya itu, orangutan tersebut kembali bertutur lebih lanjut tentang nasib dari saudara-saudarinya sesama orangutan, kelempiau, kelasi, kera, burung enggang, burung ruai, babi, rusa, kancil, ayam hutan, trenggiling dan beberapa kawanan satwa lainnya yang berada dalam kawanannya. Menurut cerita dari orangutan tersebut terungkap, mereka kini semakin terdesak. Hutan tempat hidup mereka tidak banyak lagi (hutan semakin sempit) tersisa tempat mereka bertahan hidup. Tidak hanya itu, lebih lanjut menurut orangutan jantan dewasa tersebut menceritakan; nasib orangutan dan kawanannya ada yang diburu, diperjualbelikan (diperdagangkan).
Setelah puas berkeluh kesah, orangutan tersebut memohon berpamitan untuk kembali kerumahnya di hutan sekitar kota yang saat ini pun semakin sedikit. Sebelum pulang ke rumahnya, aku mengabarkan rencana keinginanku mengajak serta orangutan tersebut mengunjungi rimba raya hutan Borneo. Mendengar ajakanku, orangutan tersebut sepertinya sangat riang gembira seraya berkata; “Apakah itu mimpi?. Yang benar saja”. Ya, benar ujarku.
Dengan semangatnya, orangutan tersebut menyetujui ajakanku untuk mengunjungi rimba raya hutan Borneo yang ku rindukan itu. Orangutan jantan tersebut diketahui memiliki nama Pongo.
Pongo, orangutan jantan dewasa tersebut berpesan kepadaku; dua atau tiga hari lagi ia akan datang lagi ke pondokku untuk memastikan jadwal berkunjung ke rimba raya hutan Borneo.

Orangutan ini bernama Codet, dia  seperti raja di Gunung Palung, Codet tidak takut untuk turun dari pohon. Foto dok. Robert R Suro, Yayasan Palung.
Orangutan ini bernama Codet, dia seperti raja di Gunung Palung, Codet tidak takut untuk turun dari pohon. Foto dok. Robert R Suro, Yayasan Palung.

Tiga hari berlalu, Pongo belum juga datang. Akupun bertanya-tanya; apakah pongo lupa dengan janji kami hari ini?. Hingga malam hari aku menunggu, namun pongo belum juga datang. Akupun berpikiran, mungkin si pongo lupa dengan janji kami atau ada halangan lain kenapa pongo belum juga muncul-muncul menemuiku hari itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ada kawananan burung enggang terbang rendah sekali diatas pohon hutan dekat pondokku. Sepasang enggang, menghampiri pondokku dan mengetok pintu seraya berkata; ada orang di rumah?.
Ya, ada sahutku. Ooo, burung enggang ternyata. Silahkan masuk ajakku. Burung enggang dan pasangannya pun masuk ke pondokku. Kehadiran saya hari ini menemuimu untuk menyampaikan pesan dari Pongo, dia mengutus aku untuk datang kemari. Ada apa?. Apa yang terjadi dengan orangutan bernama pongo itu?. Tanyaku kepada enggang agak terburu-buru sembari takut terjadi apa-apa dengannya.
Begini, jawab enggang; kemarin atau dua hari yang lalu pongo mengalami musibah, ada beberapa saudara dan saudarinya mengalami nasib malang. Beberapa diantaranya melarikan diri hingga kini belum kembali.
Beberapa rumah tempat berdiam berupa sarang mereka digusur deru mesin dan gergaji. Sampai saat ini, pongo mengajak beberapa satwa lainnya mengadakan rapat untuk mencari jalan keluar tentang musibah yang menimpa keluarga pongo dan kami merasa prihatin sekaligus sedih juga ungkap burung enggang.
Waduh… kasian nasib pongo dan keluarganya, turut prihatin atas kejadian yang menimpa pongo dan kalian semua ungkapku. Terima kasih jawab burung enggang atas rasa keprihatinanmu kepada kami semua. Atas dasar itulah aku diutus untuk datang ke tempatmu hari ini, untuk menyampaikan pesan dari pongo tentang kejadian yang menimpa kami di rumah kami berupa hutan yang semakin sempit dan mungkin akan segera habis dan hilang tidak berbekas. Jangan berkata demikian ungkapku kepada enggang. Pasti ada banyak cara untuk membuat hutan (rimba raya) dapat terus hidup. Jika hutan masih ada, ku yakin kita semua masih mampu bertahan. Tetapi, sekarang tampaknya kita sama-sama berada dalam ketidakpastian tutur burung enggang. lebih lanjut enggang mengatakan; sepertinya antara kita semua makhluk hidup tampa terkecuali sepertinya berada dalam ancaman nyata jelas burung enggang dengan nada-nada tidak bersemangat. Terima kasih burung enggang atas informasinya. Mungkin kita semua bisa saling hidup berdampingan ujarku dengan harapan burung enggang tidak kesal. Seharusnya demikian!!!… kita bisa saling berdampingan, bisa sama-sama menjaga dan dapat saling menghargai ungkap enggang dengan sisa-sisa nada kekesalannya. Menjelang senja, enggang pun berpamitan untuk kembali pulang ke rumahnya.
Setelah sedikit aku melamun, terlintas dipikiranku apa yang dikatakan enggang tersebut sungguh benar adanya dan terjadi.
Satu pekan berselang, setelah kejadian deru mesin dan gergaji yang menimpa pongo dan hampir pasti juga terjadi pula pada satwa serta seluruh makhluk lainnya menjadi beban dan pemikiran seluruh makhluk yang mendiami hutan itu sepertinya, lagi-lagi itu muncul didalam pikiranku.
Keesokan harinya, Pongo datang kembali untuk menagih janji akan rencana kami mengunjungi rimba raya hutan Borneo. Satu jam kurang lebih, pongo menyempatkan bercerita tentang kejadian yang menimpanya dan kerabatnya tempo hari sama persis dengan apa yang diceritakan oleh burung enggang. Menurut pongo, keluarganya ada yang hilang atau mungkin melarikan diri karena ketakutan mendengar suara mesin dan gerjaji. Lebih lanjut pongo bertutur, ada diantara keluarganya yang ditangkap oleh manusia. Kini keadaan rumahnya berupa hutan tidak banyak lagi yang bisa berdiri kokoh.
Aku dan pongo pun akhirnya menyepakati untuk pergi bersama-sama mengunjungi rimba raya hutan Borneo yang masih utuh itu. Rimba raya hutan Borneo yang kami kunjungi itu tidak lain adalah kawasan hutan di sekitar Taman Nasional Gunung Palung (TNGP). Di kawasan hutan ini, inginku melihat segala isinya dan berharap pongo bisa bertemu dengan sanak keluarganya. Taman Nasional yang kami pongo kunjungi itu sangat luas 90.000 hektare luasannya. Berjam-jam kami menempuh perjalanan menuju kawasan itu, aku berjalan kaki, pongo sepertinya sangat gembira sekali menempuh perjalanan itu, pongo bergelayutan dari pohon satu ke pohon lainnya dengan bernyanyi dan sesekali bertegur sapa dengan kerabatnya seperti kelasi, kelempiau dan beberapa burung yang secara kebetulan bertemu (berpapasan) dijalur yang kami tempuh. Sesekali orangutan bernama pongo itu bergembira ria tentang beragamnya jenis pohon, jenis buah, jenis tumbuh-tumbuhan dan sesamanya satwa yang ada dikawasan hutan Gunung Palung. Setelah hampir lima jam perjalanan kami tempuh, akhirnya kami tiba di rimba raya hutan Borneo yang masih utuh nan indah tersebut. Cukup melelahkan terasa karena jauhnya perjalanan yang kami tempuh, namun seketika rasa melelahkan itu hilang terobati oleh bahagianya pongo melihat apa yang baru saja alami yaitu keindahan tajuk-tajuk pepohonan yang menjulang tinggi dan rasa bahagia dari pongo terpancar merona di wajahnya. Senjapun tiba, kami memutuskan untuk menginap di sekitar hutan itu dan keesokan harinya aku dan pongo akan benar-benar menyempatkan diri untuk mengunjungi dan menjelajahi rimba raya.
Luar biasa, itu seruan pertama pongo saat memasuki kawasan hutan Gunung Palung, menurutku pun demikian adanya. Benar saja, kekaguman pongo itu tentang surganya makhluk hidup yang tinggal di rimba raya itu. Lalu Pongo pun kembali berujar; “Seandainya hutanku rimba rayaku ini ada disetiap sudut penjuru Borneo dan mungkin juga ada di tempat lainnya di sekitar kami, mungkin kami akan sangat senang dan bergembira. Senang dan gembiranya karena kami bisa beranak cucu dan bertambah banyak, mungkin juga kami bisa lesari dan tidak punah”.
Tidak terasa, satu pekan sudah aku dan pongo berada di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP).

Kami pongo pun berencana untuk menyudahi pertualangan kami di rimba raya hutan Borneo itu, rinduku pun terobati melihat indahnya rimba raya hutan Borneo di Hutan sekitar Kawasan Gunung Palung. Satu kata yang terucap dari Pongo tentang keaneragaman hayati dan seluruh makhluk yang mendiami wilayah tersebut, kata itu tentang sebuah harapan baru jika masih mampu dan bisa dipertahankan. Bisa melihat rimba raya hutan Borneo yang masih utuh sebagai harapan untuk kami, kita semua sebagai surga untuk dapat bertahan dan nafas hidup mampu berlanjut dari waktu ke waktu, tegas pongo dengan nada semangat.
Ditulis oleh : Petrus Kanisius, Yayasan Palung