Gunung Palung Orangutan Conservation Program
“Apakah Aku, Dia dan Mereka Tak Ramah Lagi Dengan Alam Ini. Kenapa Alam Selalu Disalahkan?”
Aku, Dia dan mereka tak bisa disangkal-sangkal merupakan satu dalam kesatuan yang mendiami bumi ini. Bumi dengan segala isinya seakan menjadi rangkaian untuk saling ramah. Namun kini, masih ramahkah aku, dia dan mereka termasuk semua terhadap alam?. Terus mengapa alam selalu disalahkan?.
Rangkaian bencana seolah tak kunjung berhenti mendera. Kekeringan, kabut asap, iklim yang tidak menentu dan beragam kejadian alam membuat sering kali alam selalu disalahkan.
Setiap adanya kejadian alam tak jarang pula alam yang selalu dan cenderung disalahkan. Celotehan yang sangat jelas mengatakan berbunyi; kenapa alam tidak bersahabat dengan kita?. Benarkah demikian adanya.
Sudah pasti, alam semesta raya yang diciptakan oleh Sang Pencipta (Tuhan/ Allah) memiliki arti yang tak terhingga. Tak sedikit alam semesta raya memberikan manfaatnya dari waktu ke waktu bagi sesamanya (manusia, satwa dan beberapa makhluk hidup lainnya).
Sesungguhnya, alam tidaklah salah. Justru manusia (aku, dia dan mereka) yang tidak ramah lagi dengan alam ini.
Tengok saja, kian hari hutan dan alam ini semakin menyusut adanya (terkikis habis). Tindakan dan perbuatan oleh tangan-tangan kelihatan dan tidak kelihatan terus saja terjadi bahkan terus berulang. Kerusakan hutan yang dimulai sejak tahun 1970-an- hingga tahun 1990-an, terus berlanjut dan semakin menjadikan hutan yang berada diujung kehancuran. Tidak berhenti di situ, pada tahun 1997 hingga tahun 2000-an melalui illegal logging menunjukkan betapa nyatanya hutan dirambah dan dirampas hingga hari ini untuk perluasan perkebunan (tercatat sejak tahun 1980-an di Kabupaten Sanggau, Sekadau dan di Kabupaten Ketapang) dan pertambangan (awal hingga tahun 2000-an di Kabupaten Ketapang) hingga kini terus terjadi dan berulang setiap tahunnya.
Hilangnya sebagian besar tutupan hutan di wilayah Kalbar tentu menjadi titik perhatian. Mengingat, sejatinya bukan bencana alam namun sesungguhnya bencana yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia dan alat berat (mesin).
Kerusakan hutan yang tiada henti melanda seakan membukakan mata secara langsung dan perlahahan-lahan. Sebagai contoh nyata; kekeringan, sulitnya air bersih, banjir menjadi satu dan berpadu. Tidak sedikit para petani sulit air untuk mengaliliri padi di sawah-sawah ataupun ladang mereka. Bila musim penghujan tiba, banjir siap menghadang dan musim kemarau panjang beberapa bulan terakhir terjadi menyebabkan kebakaran (lahan-lahan sudah/telah ditebang di/ter bakar) dan berujung kabut asap.
Dampak kabut asap yang terjadi memberi bukti, tak sedikit yang bertanya dan mencari keadilan. Betanya dan mencari keadilan tentunya menyangkut nafas dan nasib dari makhluk hidup. Penyakit ISPA, ruang gerak yang terbatas menjadi momok yang menakutkan karena kabut asap. Bahkan korban telah berjatuhan. Tidak hanya manusia, hewan (satwa-satwa) yang mendiami hutan sebagai habitat hidup tidak sedikit yang terkena dampaknya secara langsung (habitat hidup berupa hutan sudah semakin berkurang atau bahkan sudah mulai terkikis habis) bahkan dampak kabut asap pun satwa seperti orangutan mengalaminya. Lumpuhnya jalur transportasi darat, laut dan udara akibat jarak pandang yang terbatas menjadi tanda nyata ketika asap melanda kita semua manusia. Stabilitas ekonomi masyarakat juga tampak terganggu, tidak terkecuali aktifitas sekolah yang harus sering libur akibat pekatnya kabut.
Saat ini, hujan sudah mulai menghampiri. Sebagian kabut mulai menghilang, namun masih terjadi, berharap semua kabut hilang lenyap. Dengan syarat kobaran api sisa-sisa pembakaran (terbakar) di lahan gambut sudah/telah benar padam. Jika tidak, bukan tidak mungkin hutan-hutan dan lahan akan terbakar kembali. Perubahan cuaca memang terkadang sulit diprediksi, hal ini menjadi kewaspadaan kita semua.
Kerusakan hutan di beberapa tempat terutama hutan di Kalimantan, Sumatera dan Papua yang terjadi menjadi isyarat baru. Isyarat baru tersebut menjadi jawaban sesungguhnya bahwa ; aku, dia dan mereka sudah tidak ramah lagi dengan alam dan lingkungan. Namun terkadang masih saja sering terlontar bahwa alam tidak lagi bersabat. Sejatinya alam selalu bersabat dengan siapapun tampa pilih kasih, justru manusia yang selalu menyakiti alam ini.
Tak banyak kata, proses yang terjadi selama ini (kerusakan alam dan sebab akibatnya) merupakan sumber dari kita manusia sebagai sumber utama atau pemicu yang selalu menyakiti alam ini. Sesungguhnya, tata aturan telah ada mengatur terkait hal ini (kebakaran hutan).
Berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan bila terjadi di areal perkebunan sawit terutama perusahaan yang sedang melakukan land clearing, maka dengan cara membakar lahan merupakan cara yang sangat praktis dan sangat menguntungkan bagi perusahaan. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh oleh pihak perusahaan jika melakukan pembakaran lahan diantaranya akan menghemat pembiayaan karena kalau mengunakan peralatan berat maka akan membutuhkan biaya yang cukup besar, akan membunuh hama-hama yang ada di areal konsesi perkebunan sawit seperti hama tikus, belalang dan sebagainya serta keuntungan lain yang akan di dapat oleh perusahaan perkebunan sawit adalah lahan yang terbakar akan menjadi subur atau sebagai pupuk gratis. Jika lahan yang terbakar meluas ke areal lahan yang sudah ditanami sawit maka bisa dijadikan dasar claim asuransi.
Permasalahan tersebut diatas ditambah lagi keterbatasan peralatan yang dimiliki oleh pemerintah khususnya alat pemadam kebakaran, masih gencarnya oknum masyarakat dan perusahaan perkebunan yang melakukan pembakaran hutan menbuat sebaran api semakin parah. Seharusnya juga pemerintah mengambil kebijakan yang tegas terutama sanksi tegas kepada pihak perusahaan perkebunan sawit. Ini dikarenakan sudah jelas ada himbauan dan larangan kepada pihak perusahaan tidak melakukan land clearing dengan cara membakar. Selain itu juga pihak perusahaan mengkesampingkan dalam hal penanggulangan kebakaran hutan dan lahan diareal konsesinya. Ada beberapa kewajiban yang harus dipatuhi oleh pihak perusahaan perkebunan dalam penaanggulangan kebakaran hutan diantaranya dalam areal konsesi harus ada tower pemantau api, harus memiliki peralatan pemadam kebakaran, ada tim patroli kebakaran yang memang wajib di bentuk oleh pihak perusahaan. Kewajiban tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 yaitu Pasal 56 ayat (1) berbunyi Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar serta ayat (2) berbunyi; Setiap pelaku usaha perkebunan berkewajiban memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun. Pihak penegak hukum sebenarnya bisa menjerat pelaku pembakaran lahan dan hutan terutama kepada pihak peruahaan perkebunan dengan menghitung kerugian akibat kerusakan lingkungan akibat pembakaran hutan dan lahan yang dikaitkan dengan Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Selain itu juga ada beberapa peraturan terhadap pemberian sanksi kepada pelaku pembakaran hutan dan lahan diantaranya :
Semoga saja, dengan turunnya hujan asap bisa mereda bahkan menghilang. Namun yang terpenting adalah usut tuntas pelaku pembakaran hutan dan lahan. Mengingat saat ini diperlukan penegakkan hukum seadil-adilnya dan nudah-mudahan alam tidak lagi disalahkan. Jika tidak, persoalan asap dan persoalan lingkungan akan terus berulang. Semoga saja.
By : Petrus Kanisius- Yayasan Palung
Tulisan ini juga dimuat di Tribun Pontianak : http://pontianak.tribunnews.com/2015/11/04/akankah-alam-selalu-disalahkan-atau-manusianya