Gunung Palung Orangutan Conservation Program
Hutan yang tak lain sebagai rumah bersama. Hutanku dulu dan sekarang/saat ini (kini). Begitu juga dari hutan, banyak manfaat yang kami peroleh dari dulu hingga saat ini.
Hutanku kini dan sekarang tampaknya sudah semakin berbeda. Padahal ia (hutan) merupakan rumah bersama. Rayuan maut bertubi-tubi datang kepadanya. Rayuan itu untuk membuatku rebah tak berdaya hingga enggan bertunas kembali karena terus tergerus saban hari, dari waktu ke waktu.
Dari rumah bersama kita beroleh ruang dan waktu untuk sekedar makan dan bertahan hidup juga memadu kasih agar semua bisa berdampingan serta saling menjaga. Selorohku, selorohmu juga tentang nasib semua makhluk saat ini dan nanti.
Dulu merdunya kicauan memberi sejuta harap tentang cerita manis bagi semua yang mendiami rumah bersama itu (hutan). Hamoni, itu kata yang penah ada. Semua nafas bisa saling bahu-membahu bersama agar tetap boleh dan lestari hingga nanti.
Riang gembira ragam satwa menyapa dengan kata-kata tentang mereka yang saat ini menati kasih. Kasih tentang bagaimana hutanku (hutan kita bersama) kini bisa hingga nanti terus berdiri tanpa berseloroh tentang nasibnya.
Seloroh ragam satwa yang ada sebagai penanda bahwa sesungguhnya hutan itu selalu memberikan keindahan. Keindahan akan ragam manfaat kepada seluruh penghuni yang menghuni rumah bersama yang tak lain hutan rimba belantara.
Tetapi pertanyaannya sekarang, masih adakah asa untuk menyelamatkan rumah bersama, rumah kita semua nafas segala bernyawa?
Saat sekarang, rumah bersama kini tak lagi rumah namun tak ubah gubuk derita yang semakin sepi penghuni.
Segala isi dari rumah bersama itu kini, sepertinya semakin sulit ditinggal karena memang sudah membuat tak betah untuk menetap. Panas terik berbanding lurus dengan robohnya segala tajuk-tajuk pepohonan yang semakin sering tumbang karena kalah bersaing untuk terus dibuka dan diganti dengan tanaman pengganti atau kami digali, namun sudah pasti tak sama.
Riuh rendah kalang kabut tentang bencana pun tak jarang bergema sembari bercerita tentang rumah bersama. Rimba raya yang tak lain juga adalah hutan sebagai rumah bersama kini cenderung dirundung malang.
Cerita riang gembira penghuni rimba raya (hutan) belantara sebagai rumah bersama pun berubah jauh. Bukan ia (hutan) yang tak bersahabat, tetapi sejatinya kita semualah yang membuat rimba raya (hutan) sebagai rumah bersama dan memiliki segalanya bagi keberlajutan semua makhluk pula semestinya. Fakta bercerita dalam bahasanya memberi tanda akan bagaimana sesungguhnya kita bersikap dengan semua ini.
Semua berharap rumah yang ramah itu selalu ada dan tidak berganti gubuk derita yang membuat semua nafas semakin terluka dan menderita, yang sulit bertumbuh dan berkembang karena acap kali rebah tak berdaya.
Bila ia (hutan) sebagai rumah bersama itu tak kunjung dikasihi dengan rasa dan tidakan kasih yang kita semua miliki dengan menanam, memilihara, menjaga dan menuai tanpa harus merusak.
Hutan belantara sebagai rumah bersama yang tak lain pula menjadi tanggung jawab bersama sudah semestinya menjadi perhatian agar kita semua bisa selalu harmoni hingga selamanya. Sebagai pengingat, bukankah kita semua sesungguhnya diciptakan untuk saling harmoni satu dengan yang lain. Hutan perlu penyemai seperti beragam satwa seperti orangutan dan burung enggang. Agar mereka selalu ada, bolehlah kiranya kita semua untuk bersama-sama menjaga sembari berharap kita semua bisa terus hidup berdampingan hingga selamanya. Berharap pula ada asa dan rasa bagi kita semua agar semua bisa harmoni dan lestari hingga nanti. Hutan terjaga, masyarakat sejahtera.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Kompasiana : https://www.kompasiana.com/pit_kanisius/5e69fd77097f362b5c070ca2/cerpen-hutan-sebagai-rumah-bersama-kini-dan-nanti
Petrus Kanisius-Yayasan Palung