Gunung Palung Orangutan Conservation Program
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com
Pada suatu hari, aku ingin mengunjungi rimba raya hutan Borneo yang masih utuh. Entah mengapa aku rindu sekali dengan rimba raya atau hutan rimba raya tersebut. Rencananya aku ingin sekali mengajak orangutan. Kerinduanku akan rimbunnya rimba raya bermula ketika aku banyak mendengar cerita ataupun kabar tentang berbagai kisah tentang hutan yang sekarang semakin berkurang diambang sisih tak bersisa. Mengingat juga, orangutan pernah curhat terlontar ditelingaku tentang jerit dan tangis mereka akan hutan sebagai rumah mereka, tempat mereka bertahan hidup semakin sempit.
Kerinduanku itu terus saja merasuki pikiran. Persoalan sekarang adalah kapan ada waktu yang tepat antara aku dan orangutan untuk bisa bersama mengunjunginya. Mengingat, orangutan yang ingin aku ajak semakin sulit kutemui. Sesekali aku pernah berjumpa tetapi hanya sekedar berpapasan saja, belum sempat ngobrol tentang keinginanku mengajak orangutan mengunjungi hutan Borneo yang masih utuh itu . Sepertinya, orangutan yang kuajak tersebut akan senang dan bahagia. Mudah-mudahan saja, harapku.
Hutan Borneo yang rencananya aku kunjungi menurut kabar adalah hutan di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP). Hutan di Kawasan tersebut sedikit lebih baik dibandingkan dengan hutan-hutan yang berada di luar kawasan. Ada beberapa hutan seperti hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan lindung dan hutan yang berada di dekat prmukiman masyarakat namun kondisinya tidak lagi utuh sepenuhnya.
Suatu pagi, saat aku duduk termenung di pondok ladang seorang diri. Sembari berpikir sejenak bagaimana rencanaku mencari cara mengajak, mengobrol dan berdiskusi dengan orangutan untuk mengunjungi hutan Borneo itu. Tidak disangka, seketika orangutan jantan muncul dan memanggilku dengan suara nyaringnya. Dari bahasanya, sepertinya orangutan tersebut sedang kebingungan. Benar saja, setelah saya mencoba mendekati dan bertanya kepada orangutan itu; ada apa gerangan orangutan?. Terlihat, selain kebingungan, tergesa-gesa dan ketakutan orangutan tersebut juga seperti sedang merasa sedih.
Orangutan itu menjawab pertanyaanku dengan tergesa-gesa seolah sedang berada dalam ancaman dan ketakutan; “hutanku… tempat aku sehari-hari berdiam kini digusur lagi, kemana lagi aku berdiam?”. Demikian jawab orangutan itu kepadaku.
Orangutan tersebut sepertinya sedang berada dalam keputus asaan dan hilang harapan melihat kondisi hutan sebagai habitat hidupnya digusur. Setelah mengabarkan hal yang dialaminya itu, orangutan tersebut kembali bertutur lebih lanjut tentang nasib dari saudara-saudarinya sesama orangutan, kelempiau, kelasi, kera, burung enggang, burung ruai, babi, rusa, kancil, ayam hutan, trenggiling dan beberapa kawanan satwa lainnya yang berada dalam kawanannya. Menurut cerita dari orangutan tersebut terungkap, mereka kini semakin terdesak. Hutan tempat hidup mereka tidak banyak lagi (hutan semakin sempit) tersisa tempat mereka bertahan hidup. Tidak hanya itu, lebih lanjut menurut orangutan jantan dewasa tersebut menceritakan; nasib orangutan dan kawanannya ada yang diburu, diperjualbelikan (diperdagangkan).
Setelah puas berkeluh kesah, orangutan tersebut memohon berpamitan untuk kembali kerumahnya di hutan sekitar kota yang saat ini pun semakin sedikit. Sebelum pulang ke rumahnya, aku mengabarkan rencana keinginanku mengajak serta orangutan tersebut mengunjungi rimba raya hutan Borneo. Mendengar ajakanku, orangutan tersebut sepertinya sangat riang gembira seraya berkata; “Apakah itu mimpi?. Yang benar saja”. Ya, benar ujarku.
Dengan semangatnya, orangutan tersebut menyetujui ajakanku untuk mengunjungi rimba raya hutan Borneo yang ku rindukan itu. Orangutan jantan tersebut diketahui memiliki nama Pongo.
Pongo, orangutan jantan dewasa tersebut berpesan kepadaku; dua atau tiga hari lagi ia akan datang lagi ke pondokku untuk memastikan jadwal berkunjung ke rimba raya hutan Borneo.
Tiga hari berlalu, Pongo belum juga datang. Akupun bertanya-tanya; apakah pongo lupa dengan janji kami hari ini?. Hingga malam hari aku menunggu, namun pongo belum juga datang. Akupun berpikiran, mungkin si pongo lupa dengan janji kami atau ada halangan lain kenapa pongo belum juga muncul-muncul menemuiku hari itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ada kawananan burung enggang terbang rendah sekali diatas pohon hutan dekat pondokku. Sepasang enggang, menghampiri pondokku dan mengetok pintu seraya berkata; ada orang di rumah?.
Ya, ada sahutku. Ooo, burung enggang ternyata. Silahkan masuk ajakku. Burung enggang dan pasangannya pun masuk ke pondokku. Kehadiran saya hari ini menemuimu untuk menyampaikan pesan dari Pongo, dia mengutus aku untuk datang kemari. Ada apa?. Apa yang terjadi dengan orangutan bernama pongo itu?. Tanyaku kepada enggang agak terburu-buru sembari takut terjadi apa-apa dengannya.
Begini, jawab enggang; kemarin atau dua hari yang lalu pongo mengalami musibah, ada beberapa saudara dan saudarinya mengalami nasib malang. Beberapa diantaranya melarikan diri hingga kini belum kembali.
Beberapa rumah tempat berdiam berupa sarang mereka digusur deru mesin dan gergaji. Sampai saat ini, pongo mengajak beberapa satwa lainnya mengadakan rapat untuk mencari jalan keluar tentang musibah yang menimpa keluarga pongo dan kami merasa prihatin sekaligus sedih juga ungkap burung enggang.
Waduh… kasian nasib pongo dan keluarganya, turut prihatin atas kejadian yang menimpa pongo dan kalian semua ungkapku. Terima kasih jawab burung enggang atas rasa keprihatinanmu kepada kami semua. Atas dasar itulah aku diutus untuk datang ke tempatmu hari ini, untuk menyampaikan pesan dari pongo tentang kejadian yang menimpa kami di rumah kami berupa hutan yang semakin sempit dan mungkin akan segera habis dan hilang tidak berbekas. Jangan berkata demikian ungkapku kepada enggang. Pasti ada banyak cara untuk membuat hutan (rimba raya) dapat terus hidup. Jika hutan masih ada, ku yakin kita semua masih mampu bertahan. Tetapi, sekarang tampaknya kita sama-sama berada dalam ketidakpastian tutur burung enggang. lebih lanjut enggang mengatakan; sepertinya antara kita semua makhluk hidup tampa terkecuali sepertinya berada dalam ancaman nyata jelas burung enggang dengan nada-nada tidak bersemangat. Terima kasih burung enggang atas informasinya. Mungkin kita semua bisa saling hidup berdampingan ujarku dengan harapan burung enggang tidak kesal. Seharusnya demikian!!!… kita bisa saling berdampingan, bisa sama-sama menjaga dan dapat saling menghargai ungkap enggang dengan sisa-sisa nada kekesalannya. Menjelang senja, enggang pun berpamitan untuk kembali pulang ke rumahnya.
Setelah sedikit aku melamun, terlintas dipikiranku apa yang dikatakan enggang tersebut sungguh benar adanya dan terjadi.
Satu pekan berselang, setelah kejadian deru mesin dan gergaji yang menimpa pongo dan hampir pasti juga terjadi pula pada satwa serta seluruh makhluk lainnya menjadi beban dan pemikiran seluruh makhluk yang mendiami hutan itu sepertinya, lagi-lagi itu muncul didalam pikiranku.
Keesokan harinya, Pongo datang kembali untuk menagih janji akan rencana kami mengunjungi rimba raya hutan Borneo. Satu jam kurang lebih, pongo menyempatkan bercerita tentang kejadian yang menimpanya dan kerabatnya tempo hari sama persis dengan apa yang diceritakan oleh burung enggang. Menurut pongo, keluarganya ada yang hilang atau mungkin melarikan diri karena ketakutan mendengar suara mesin dan gerjaji. Lebih lanjut pongo bertutur, ada diantara keluarganya yang ditangkap oleh manusia. Kini keadaan rumahnya berupa hutan tidak banyak lagi yang bisa berdiri kokoh.
Aku dan pongo pun akhirnya menyepakati untuk pergi bersama-sama mengunjungi rimba raya hutan Borneo yang masih utuh itu. Rimba raya hutan Borneo yang kami kunjungi itu tidak lain adalah kawasan hutan di sekitar Taman Nasional Gunung Palung (TNGP). Di kawasan hutan ini, inginku melihat segala isinya dan berharap pongo bisa bertemu dengan sanak keluarganya. Taman Nasional yang kami pongo kunjungi itu sangat luas 90.000 hektare luasannya. Berjam-jam kami menempuh perjalanan menuju kawasan itu, aku berjalan kaki, pongo sepertinya sangat gembira sekali menempuh perjalanan itu, pongo bergelayutan dari pohon satu ke pohon lainnya dengan bernyanyi dan sesekali bertegur sapa dengan kerabatnya seperti kelasi, kelempiau dan beberapa burung yang secara kebetulan bertemu (berpapasan) dijalur yang kami tempuh. Sesekali orangutan bernama pongo itu bergembira ria tentang beragamnya jenis pohon, jenis buah, jenis tumbuh-tumbuhan dan sesamanya satwa yang ada dikawasan hutan Gunung Palung. Setelah hampir lima jam perjalanan kami tempuh, akhirnya kami tiba di rimba raya hutan Borneo yang masih utuh nan indah tersebut. Cukup melelahkan terasa karena jauhnya perjalanan yang kami tempuh, namun seketika rasa melelahkan itu hilang terobati oleh bahagianya pongo melihat apa yang baru saja alami yaitu keindahan tajuk-tajuk pepohonan yang menjulang tinggi dan rasa bahagia dari pongo terpancar merona di wajahnya. Senjapun tiba, kami memutuskan untuk menginap di sekitar hutan itu dan keesokan harinya aku dan pongo akan benar-benar menyempatkan diri untuk mengunjungi dan menjelajahi rimba raya.
Luar biasa, itu seruan pertama pongo saat memasuki kawasan hutan Gunung Palung, menurutku pun demikian adanya. Benar saja, kekaguman pongo itu tentang surganya makhluk hidup yang tinggal di rimba raya itu. Lalu Pongo pun kembali berujar; “Seandainya hutanku rimba rayaku ini ada disetiap sudut penjuru Borneo dan mungkin juga ada di tempat lainnya di sekitar kami, mungkin kami akan sangat senang dan bergembira. Senang dan gembiranya karena kami bisa beranak cucu dan bertambah banyak, mungkin juga kami bisa lesari dan tidak punah”.
Tidak terasa, satu pekan sudah aku dan pongo berada di Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP).
Kami pongo pun berencana untuk menyudahi pertualangan kami di rimba raya hutan Borneo itu, rinduku pun terobati melihat indahnya rimba raya hutan Borneo di Hutan sekitar Kawasan Gunung Palung. Satu kata yang terucap dari Pongo tentang keaneragaman hayati dan seluruh makhluk yang mendiami wilayah tersebut, kata itu tentang sebuah harapan baru jika masih mampu dan bisa dipertahankan. Bisa melihat rimba raya hutan Borneo yang masih utuh sebagai harapan untuk kami, kita semua sebagai surga untuk dapat bertahan dan nafas hidup mampu berlanjut dari waktu ke waktu, tegas pongo dengan nada semangat.
Ditulis oleh : Petrus Kanisius, Yayasan Palung