Gunung Palung Orangutan Conservation Program
Pada bulan November lalu, di Jerman diselenggarakan People’s Climate Summit dalam rangkaian kegiatan Conference of the Parties (COP 23). Dalam kesempatan tersebut, Gunung Palung Orangutan Concervation Program (GPOCP) atau Yayasan Palung melalui salah satu Manager Program Pendidikan Lingkungan sekaligus juga aktivis perempuan, Mariamah Achmad ikut hadir dan menyuarakan keadilan iklim.
Selama dua pekan berada di sana, banyak hal yang ia dapatkan dan cukup menarik untuk simak serta dibagikan kepada pembaca. Berikut cerita singkat selama dua pekan saat mengikuti kegiatan (COP 23) di Jerman, seperti yang ditulis oleh Mariamah Achmad:
Saya diundang untuk menghadiri People’s Climate Summit dalam rangkaian kegiatan Conference of the Parties (COP 23) di Jerman, yang mungkin adalah kesempatan sekali seumur hidup saya. Saya telah menjadi aktivis yang membawa kesadaran tentang hak lingkungan dan hak perempuan selama hampir dua dekade dan perjalanan ini seakan menjadi puncak dari semua yang telah saya lakukan.
FAMM Indonesia dan JASS Southeast Asia -kedua organisasi yang bekerja untuk memperkuat kapasitas dan pemberdayaan aktivis perempuan muda- mendukung perjalanan saya secara finansial. Prosesnya dimulai dengan sebuah wawancara dan seminggu kemudian saya menemukan bahwa saya akan segera menuju Frankfurt, Bonn, dan Bruehl, Jerman.
Butuh banyak koordinasi untuk mendapatkan visa dan dokumen prasyaratnya dalam waktu singkat. Saya sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan kesempatan tersebut.
Gawai lingkungan ini berlangsung dari 3-16 Nopember 2017. Saya menghadiri hingga 10 November 2017.
Hari pertama dimulai dengan kegiatan solidaritas Pasifik bersama Pacific Climate Warriors. Pulau-pulau kecil di Kepulauan Pasifik telah banyak dipengaruhi oleh perubahan iklim. Mereka memiliki kata-kata motivasi yang kuat untuk didengar oleh dunia: “We are not drowning, we are fighting!” (Kami tidak tenggelam, kami berjuang!).
Hari kedua adalah aksi global untuk keadilan iklim yang pada COP 23 ini fokus pada membawa kesadaran tentang penambangan batubara dan energi kotor. Pawai ini diikuti lebih dari 350 organisasi dari seluruh dunia yang hadir di sana.
Pada hari ketiga, kami mengunjungi tambang batubara yang telah menggali 4.000 hektare lahan hingga kedalaman 450 meter sejak tahun 1978. Pemandangan di sana tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sejauh mata memandang bumi dikeruk hingga tak bersisa.
Beberapa hari berikutnya, saya menghadiri berbagai lokakarya tentang keadilan iklim, makanan, energi, dan hak-hak perempuan. Di sini saya berbicara tentang tantangan yang kita hadapi di Indonesia dan bagaimana kita dapat melawan perubahan iklim sebagai gerakan dunia dan menjamin hak-hak perempuan.
Saya berbicara tentang bagaimana wanita secara tradisional mencari makanan dan buah-buahan di hutan, mendapatkan ikan di sungai, dan merawat keluarga mereka dari alam.
Sudah sekian lama, banyak dari hutan ini dengan cepat telah digantikan oleh perkebunan kelapa sawit, tambang, atau telah ditebang secara legal maupun ilegal. Perubahan ini telah mengubah tanah dan mencemari air dan sungai. Para perempuan ini tidak bisa lagi mengumpulkan makanan untuk memberi makan keluarga mereka, menyebabkan mereka harus memperoleh penghasilan di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Kadang-kadang meninggalkan anak-anaknya dengan tetangga atau dengan sedikit atau tanpa pengawasan orang dewasa. Karena bahan kimia yang digunakan di perkebunan industri ini, airnya tidak lagi cukup bersih untuk diminum dan menyebabkan reaksi kulit yang parah saat digunakan untuk mandi. Perubahan lahan secara drastis ini telah menciptakan banyak masalah bagi keluarga yang hidup di sekitar perkebunan kelapa sawit baik secara ekonomi dan sosial, maupun budaya, dan dalam hal kesehatan mereka.
Saya dapat berbagi cerita tentang keberhasilan pekerjaan yang kami lakukan di GPOCP termasuk program pendidikan lingkungan kami dalam berbagai kesempatan, di mana kami menjangkau lebih dari 5.000 siswa per tahun yang mengajarkan pentingnya lingkungan yang sehat. Saya juga mendiskusikan pekerjaan kami dengan masyarakat untuk melindungi 7.500 hektare hutan secara legal, yang mencegah usaha perkebunan berskala besar mengubah fungsi hutan untuk melindungi kepentingan masyarakat dalam jangka panjang terhadap alam, seperti penyerapan karbon dan air.
Sepuluh hari tetpatnya waktu kami berkegiatan di Jerman. Ini terasa singkat, namun merupakan kehormatan bagi saya untuk mewakili GPOCP, perempuan Indonesia berdiri bersama aktivis iklim dari seluruh dunia. Dengan tulus saya mengucapkan terima kasih kepada FAMM Indonesia, JASS, dan GPOCP atas motivasi, dukungan, dan kepercayaan mereka terhadap saya. Saya telah berteman dengan orang-orang yang berpikiran serupa dari seluruh dunia dan memiliki harapan baru akan kebaikan dunia tempat kita tinggal.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di https://student.cnnindonesia.com : Menyuarakan Perbaikan Lingkungan di Jerman
Petrus Kanisius- Yayasan Palung