Gunung Palung Orangutan Conservation Program
Kelempiau yang dipilihara oleh masyarakat di Pasar Sandai, Kec. Sandai, Ketapang, Kalbar. Foto tahun 2015, dok. Yayasan Palung.
Ancaman dan kejahahatan terhadap satwa terus saja terjadi. Entah apa yang menjadi sesungguhnya tentang hal ini?. Apa dosa mereka (satwa) ?.
Bisa dikata, dari dulu hingga kini ancaman terhadap satwa terus saja terjadi dan tidak henti-hentinya (semakin marak). Ancaman satwa tersebut terus terjadi di negeri ini, terlebih di wilayah Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Papua. Apa penyebab utama dari persoalan tersebut?. Bila dilihat secara kasat mata begitu nyata terlihat, namun yang terselubung pun begitu juga terjadi (tidak kalah hebatnya) berlomba-lomba mengurangi jumlah luasan ataupun isi bumi pertiwi.
Nasib satwa yang hidup dan tumbuh berkembang di habitus/habitat hidupnya pun kian dalam ancaman nyata. Benar saja, hutan sebagai tempat hidup jumlahnya semakin terbatas jumlahnya (berkurang/menjelang terkikis habis).Tangan-tangan tidak terlihat begitu masif menjamah hutan dan tanah air serta bumi pertiwi entah kapan berhenti mengusik.
Tercatat, dari tahun kasus perburuan, perdagangan dan pemiliharaan satwa masih saja terjadi. Paruh enggang, sisik trenggiling, pemiliharaan primata seperti orangutan, kelempiau masih berlangsung. Perburuan terhadap rusa, perburuan kelasi untuk diambil geliganya menjadi informasi dan kasus baru di Kalimantan Barat. Demikian juga halnya dengan bekantan yang jumlahnya semakin berkurang. Menurut informasi yang di peroleh oleh Yayasan Palung dari masyarakat ada terjadi di beberapa tempat seperti di Wilayah Riam Bunut, Kecamatan Sungai Laur pada tahun 2014-2015 lalu ada para pembeli yang sengaja mencari geliga kelasi, geliga dan enggang dan sisik trenggiling. Para pembeli tersebut berasal dari Luar (luar negeri/Malaysia). Nasib tragis juga terjadi pada beruang madu dan beruang rambai, sering kali diburu untuk diambil empedu dan dikonsumsi.
Hal lain yang tidak kalah menyedihkan adalah proses penegakan hukum yang bisa dikata masih lemah. Terutama menyangkut pengawasan dan penegakan hukum. Mengapa demikian?. Berbicara tentang pengawasan, acap kali para pemburu sekaligus pembeli/pengoleksi bagian-bagian tubuh satwa tidak pernah berhenti menyeludupkan barang-barang tersebut ke luar negeri. Kulit harimau, gading gajah di Sumatera, paruh enggang di Kalimantan Barat, Burung-burung endemik dari Papua seperti burung surga (Cendrawasih), perburuan terhadap kangguru juga ada terjadi. Demikian juga dengan beragam jenis burung langka yang masih marak diperjualbelikan di pasar gelap melalui dunia maya. Pemiliharaan terhadap burung hantu dan ayam hutan. Kukang Jawa, kukang Sumatera dan Kalimantan pun begitu sering diperdagangkan di pasar bebas gelap. Yang kerap kali disebut, Tiongkok menjadi penadah dari pasar gelap perdagangan satwa.
Nasib Pongo (Orangutan) juga begitu banyak yang tragis nasibnya. Lahan gambut yang terus berkurang akibat kebakaran tahun lalu sangat berpengaruh membuat orangutan menghampiri pemukiman dan perkebunan warga. Sumber pakan dan makanan sudah semakin sulit mereka (orangutan dan satwa lainnya) dapatkan. Derita banyak satwa terus berulang dan tak berujung, mengingat dari dulu banyak satwa terlebih orangutan sebagai spesies payung kian terhimpit di habitat hidupnya hingga kini. Data ProFauna, tahun 2015 menyebutkan; setidaknya ada terdapat 50 kasus perburuan, termasuk yang diunggah di media sosial. Sekitar 95 persen primata yang dijual di pasar bebas merupakan hasil perburuan. Kebanyakan, orang berburu itu untuk dijual kembali.
Efek jera terhadap para pelanggar dan pelaku kejahatan terhadap satwa dan kehutanan masih dianggap tidak maksimal. Hukuman ringan terhadap pelanggar tidak membuat jera para pelaku kejahatan. Tata aturan terhadap UU no. 5 tahun 1990, tentang Sumber Daya hayati dan Ekosistem sering kali terabaikan dalam pelaksanaannya.
Kampanye, penyadartahuan dan beberapa edukasi tentang perlindungan terhadap satwa terus dilakukan dari hari ke hari oleh banyak lembaga, institusi dan yayasan, namun pelanggaran terhadap satwa terus terjadi. Ancaman terhadap satwa seolah semakin sulit untuk dihentikan. Kesadaran dari pelaku untuk melindungi masih terbilang minim, alasan yang selalu di utarakan karena tuntutan perut.
Persoalan tentang ancaman terhadap satwa sejatinya bisa dibendung jika adanya kesadaran, kerjasama yang baik dari seluruh pemegang kebijakan, pengusaha, penegak hukum dan para pemerhati lingkungan. Tata kelola, penegakan hukum dan regulasi yang jelas dan tidak memihak salah satu kepentingan menjadi pilihan yang harus dilakukan. Menjadi hal yang harus diproritaskan. Apabila tidak, satwa semakin terancam dan akan punah. Mengingat, saat ini dari 44 jenis spesies satwa yang ada, setidaknya 21 diantaranya endemik dan terancam punah (baca; status 25 primata terancam punah 2014-2016 dalam Primates in Peril: The world’s 25 most endangered primates). Sejatinya, satwa dilindungi tidak memiliki dosa namun mereka menanggung derita, termasuk manusia yang bertanggungjawab karena sama-sama mendiami bumi ini. Coba kita selidiki, apa dosa satwa-satwa yang terancam?.
Mungkin jika satwa memiliki akal dan pikiran yang sama dengan manusia bisa saja satwa berdemontrasi kepada manusia. Dampak dan ancaman dengan semakin sedikitnya satwa, jenis burung, tumbuhan dan hutan dapat kita rasakan. Cuaca tidak menentu, banjir siap menghadang jika penghujan datang, demikian pula bila kemarau tiba, ancaman kekeringan dan kurangnya air bersih menjadi persoalan utama saat ini. Rantai makanan mulai ada yang terputus, ada beberap jenis satwa yang kesulitan makanan/pakannya. Kini, tinggal bertanya sebaliknya. Siapa sesungguhnya berdosa dengan semakin terancamnya satwa dan hutan saat ini?.
By : Petrus Kanisius- Yayasan Palung
Baca Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/pit_kanisius/apa-dosa-satwa-sehingga-kini-kian-terancam_56b455c2c4afbd22094193fa