Gunung Palung Orangutan Conservation Program
Ragam jenis anyaman-anyaman tradisional budaya leluhur seperti bahan dari bahan baku bambu masih kami jumpai di Desa Demit. Anyaman seperti Kampik, ragak atau bakul dengan beraneka motif tersebut menurut masyarakat setempat termasuk sudah jarang dijumpai mengingat orang tua yang menganyam beraneka motif tersebut sudah tidak banyak lagi yang bisa menganyamnya karena kesulitan menganyam motifnya dan beberapa peninggalan tradisi leluhur lainnya. Hal tersebut saya dan kawan-kawan dari Yayasan Palung menjumpainya ketika melakukan ekspedisi di beberapa desa di Kecamatan Sandai, Ketapang, Kalbar (25-29 April 2017), bulan lalu.
Keberadaan aneka anyaman tersebut selain beruntung kami jumpai, tetapi juga karena ada sosok pelestari budaya tradisi masyarakat setempat (di desa Demit). Tidak hanya anyam-anyaman, tetapi juga beberapa ciri khas alat (perlengkapan) bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari di desa tersebut pula. Sosok yang boleh dikata pelestari budaya tersebut adalah bapak Alteban, 44 tahun.
Secara tidak sengaja, kata itulah yang dapat saya katakan. Tidak sengajanya, ketika kami kami ngobrol-ngobrol ringan bapak 3 anak tersebut bercerita tentang keseharian beliau sedang membuat/menganyam uncang (kerepai) tempat atau wadah yang dulu adalah tempat peluru senapan. Tetapi uncang (kerepai) yang ia buat saat ini tidak lagi digunakan untuk wadah untuk peluru senapan tetapi hanya untuk aksesoris seperti gantungan kunci, untuk tempat (wadah ) rokok, dompet ataupun juga untuk tempat handpone. Uncang/kerepai, bahan-bahannya terbuat dari kulit kayu gentoli dan rotan.
Kulit kayu dibentuk selanjutnya dibalut dengan anyaman rotan. Bila boleh dikata, uncang/kerepai adalah tas jaman dulu yang sekarang mulai dilesarikan lagi karena bentuknya yang unik dan menarik. Adapun untuk harga, uncang/kerepai yang ukurannya kecil (untuk gantungan kunci) harganya 50 ribu rupiah. Ukuran sedang untuk tempat handpone/tempat dompet harganya 200 ribu rupiah dan ukuran yang paling besar (bisa digunakan untuk tempat laptop) harganya 500-600 ribu rupiah.
Aneka anyaman tersebut boleh dikata sudah langka karena sudah tidak banyak lagi, generasi muda tidak bisa lagi menganyam motif rumit tersebut. Tercatat menurut pengakuan bapak Alteban, saat ini di desanya tersisa 1 orang generasi yang bisa menganyam motif dari aneka anyaman tersebut. Adapun motif anyaman yang dimaksud adalah motif paku ikan (motif anyaman berbentuk tanaman paku-pakuan). Beberapa anyaman ragak/bakul/kampik saat masyarakat menugal padi, anyaman ini sebagai wadah benih padi. Dikata sebagai pelestari budaya, Alteban juga menunjukan beberapa barang-barang yang merupakan budaya tradisional masyarakat yang sudah dikatakan langka. Barang-barang tradisional (peninggalan jaman dulu) dari nenek-kakek ujar bapak Alteban. Bapak Alteban memperlihatkan barang-barang peninggalan nenek-kakek yang lainnya adalah Tronong, demikian masyarakat Demit menyebutnya.
Menurut cerita Alteban, Tronong merupakan wadah (tempat) menyerupai penangkin. Bagi masyarakat setempat, dulunya Tronong digunakan oleh masyarakat untuk tempat menyimpan madu saat memanjat/menjatak lebah madu. Saat mengambil lebah madu, seseorang harus membawa tronong dan tebaok. Tebaok adalah bahan yang terbuat dari jenis kayu akar nama kayunya kebak (tebaok digunakan untuk pengasapan sarang lebah madu), ujar Alteban.
Saya dan kawan-kawan yang berkesempatan datang ke Desa Demit juga diberi oleh-oleh buah hutan, buah kekupak namanya. Menurut masyarakat setempat, buah kekupak sangat berguna untuk penangkal roh jahat. Dengan kata lain, buah kekupak memiliki fungsi untuk menangkal roh jahat dan menghindari dari marabahaya. Sebagian besar anak kecil di Desa Demit menggunakan kekupak untuk dijadikan kalung sebagai penjaga agar terhindar dari penyakit dan marabahaya serta sebagai pelindung semangat jiwanya.
Lebih lanjut Alteban bercerita tebaok yang digunakan untuk pengusir lebah madu saat mengambil madu, ternyata di masyarakat setempat tebaok dipercaya untuk mengusir ragam penyakit. Caranya, tebaok yang dibakar, abunya diusapkan kebagian tubuh (badan yang sakit).
Alteban juga memperlihatkan tombak yang menurut ceritanya peninggalan dari Sang Kakeknya, adapula mandau. Bagi masyarakat di Demit, bapak Alteban selalu diundang saat ada acara kampungnya atau di Sandai ketika ada tamu datang karena selain sebagai sosok pelestari budaya, Alteban juga sangat trampil menari. Sebagian besar, masyarakat di Demit adalah petani padi dan penoreh getah (penyadap karet). Beberapa masyarakatnya juga adalah pekerja dan pekerja di perkebunan sawit. Ada juga masyarakat yang membuat sengkalan (tempat untuk mengiris bawang/bumbu dapur) dapat juga digunakan untuk alas pemotong daging. Sangkalan dibuat dari sisa-sisa potongan batang kayu leban dan ulin. Bila leban harganya 20 ribu rupiah. Sedangkan sengkalan dari kayu ulin harganya 40-50 ribu rupiah.
Saat kami lecture, materi yang kami sampaikan adalah manfaat hutan dan orangutan bagi manusia. Saat bermain boneka/panggung boneka di Sekolah Dasar (SD) kami bertutur tentang hutan dan orangutan yang kondisinya semakin terhimpit.
Sedangkan diskusi, kami mendengar keluh kesah ataupun juga potensi yang ada didesa. Saat pemutaran film, kami juga menyampaikan sosialisasi tentang satwa dilindungi seperti orangutan, kelempiau, bekantan, trenggiling, enggang dan lain sebagainya.
Adapun asal usul nama Desa Demit, menurut masyarakat setempat awalnya karena di desa tersebut kala itu 3 kali pindah kampung dan akhirnya menetap di Desa Demit. Menurut cerita Pak Jamin, salah seorang tokoh masyarakat di desa Demit menuturkan; dulu, karena wabah penyakit berupa diare dan ada satu kejadian dalam waktu singkat 5 ibu-ibu kala itu melahirkan bayi, tetapi bayinya meninggal. Sebagian besar masyarakat menganggap peristiwa tersebut sebagai wabah penyakit hantu (demit). Dari dulu hingga sekarang telah berumur 30 tahun. Untuk menjangkau daerah ini (Desa Demit) dilalaui dengan jarak tempuh 105,97 km dari Ketapang.
Semua rangkaian kegiatan ekspedisi ke desa-desa yang kami Yayasan Palung lakukan berjalan sesuai dengan rencana dan lancar dan mendapat sambutan baik dari masyarakat.
Petrus Kanisius – Yayasan Palung
Tulisan Selengkapnya dapat dibaca di : http://www.kompasiana.com/pit_kanisius/berjumpa-ragam-peninggalan-tradisi-budaya-leluhur-di-desa-demit_590a9fa81fafbdb6083a9e58